Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Musim kemarau panjang yang diprediksi berlangsung dari Juni hingga September 2024, dengan puncaknya pada Agustus, diperkirakan akan memberikan dampak signifikan pada sektor pertanian nasional.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan bahwa beberapa daerah, terutama di bagian selatan Indonesia seperti Jawa, Nusa Tenggara, dan Papua selatan, akan mengalami curah hujan yang sangat rendah, kurang dari 50 mm per bulan, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi kekeringan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa angin dari Australia yang mengarah ke Asia dan melintasi Indonesia menyebabkan kondisi kering di wilayah Indonesia bagian selatan.
"Puncaknya akan terjadi pada Agustus dan September, dan ini berdampak pada produksi komoditas pangan, khususnya beras," ujar Dwikorita dalam Festival Aksi Iklim Generasi Muda Indonesia 2024 di Kantor Pusat BMKG, Jakarta.
Baca Juga: Pemanasan Global Gagal Direm, BMKG Prediksi Bencana Besar Melanda pada 2050
Menurut Eliza Mardian, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), penurunan produksi beras tahun ini telah dimulai sejak dampak El Niño pada tahun 2023, yang mengakibatkan penurunan luas lahan penanaman dan pergeseran musim panen.
"Musim panen raya pertama menyumbang lebih dari 60% dari total produksi nasional tahunan. Jika musim panen raya menurun, maka jumlah panen tahun ini akan relatif turun," jelas Eliza kepada KONTAN.
Eliza juga menambahkan bahwa musim panen kedua yang jatuh pada puncak kemarau Juli-Agustus akan berpotensi menurunkan jumlah produksi. Data BMKG menunjukkan bahwa sekitar 40% wilayah di Indonesia mengalami kemarau di atas normal, yang berarti kondisi kering lebih ekstrem daripada biasanya.
Baca Juga: Musim Kemarau Tahun 2024 Ini Berbeda, Ini Penjelasan BMKG
Harapan untuk mengisi kekurangan produksi dari musim panen raya pertama dan kedua bergantung pada musim panen ketiga. Namun, ini sangat tergantung pada apakah La Niña akan mulai tepat waktu pada bulan September.
"Jika La Niña terlambat, maka musim panen ketiga tidak dapat diharapkan untuk mengisi kekurangan produksi," tambah Eliza.
Rata-rata petani padi di Indonesia menanam dua kali dalam setahun, namun ada juga petani yang dapat menanam tiga kali dalam setahun jika ketersediaan air irigasi memadai. Mengingat dampak perubahan iklim yang semakin terasa, Indonesia perlu mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan ini.
"Perlu adanya regulasi dan kebijakan yang mendukung program mitigasi perubahan iklim untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian dan ketahanan pangan nasional," pungkas Eliza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News