Reporter: Tedy Gumilar, Herry Prasetyo, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Pasca pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), konstelasi politik terus berkembang. Genderang persaingan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2 pun ditabuh.
Di atas kertas, dari sisi dukungan partai, posisi Prabowo-Hatta jelas di atas angin lantaran mendapat sokongan enam partai: Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Partai Golkar yang mengumpulkan suara dan kursi DPR mayoritas hasil pemilihan legislatif (pileg), 9 April 2014 lalu. Gabungan suara partai politik pengusung Prabowo-Hatta dalam pileg mencapai lebih dari 61 juta suara.
Sementara partai yang bekerjasama mengusung Jokowi-JK, meski sudah ditambah dukungan dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) hanya mengumpulkan sekitar 51 juta suara sah nasional.
Di luar kekuatan politik formal, aksi saling dukung dan rebutan dukungan tokoh, organisasi kemasyarakatan, dan komunitas masyarakat tak kalah maraknya. Tokoh agama dan purnawirawan jenderal seolah terpecah menjadi dua kubu yang berseberangan.
Walau lebih sedikit mendapat dukungan partai, Jokowi tak berkecil hati. Menurut dia, dalam pilpres masyarakat lebih melihat figur ketimbang partai. “Kami sudah sering dikeroyok. Tapi, kalau rakyat di belakang kami, Insya Allah, kami akan menang,” kata Jokowi.
Nyatanya, keberpihakan partai secara organisasi terhadap calon tertentu tak berjalan mulus. Di sebelah Jokowi-JK, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) harus menghadapi kenyataan dua capres yang pernah mereka usung, Machfud MD dan Rhoma Irama menyeberang ke kubu Prabowo. Lalu, Partai Hanura juga harus ditinggalkan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hary Tanoesoedibjo dan Ketua Hanura Fuad Bawazier.
Sedang di kubu Prabowo-Hatta, dukungan dari Golkar juga tidak bulat. Wakil Dewan Pertimbangan Golkar Luhut Binsar Panjaitan dan Anggota Dewan Pertimbangan Golkar Fahmi Idris memilih mengundurkan diri, kemudian mendukung Jokowi-JK. Beberapa tokoh muda partai beringin yang dimotori anggota DPR Poempida Hidayatulloh juga memilih mendukung Jokowi-JK.
Cuma suara Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden (pilpres), 9 Juli nanti, bisa gembos. Soalnya, Kamis (22/5) lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Suryadharma adalah Ketua Umum PPP, pendukung Prabowo-Hatta.
Pecah kongsi di internal partai menjelang pilpres bukan barang baru, terutama di tubuh Golkar. Saat Pilpres 2004, Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid. Hanya, pada saat bersamaan, JK yang merupakan tokoh Golkar menjadi cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gerbong Fahmi Idris dan Priyo Budi Santoso kala itu memilih menyokong JK dan berujung pada pemecatan dari jabatan struktural di Golkar.
Di Pilpres 2009 ketika JK-Wiranto menjadi capres-cawapres dari Golkar dan Hanura, kembali ada kader partai beringin yang menyeberang ke kubu SBY-Boediono. “Bagi Golkar, dinamika seperti ini akan selalu menghias terutama menghadapi masa penting seperti pilpres sekarang,” tukas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Golkar Tantowi Yahya.
Belum ke program
Sejauh ini, masing-masing kubu pasangan capres-cawapres belum masuk ke pembicaraan soal program kerja. Ruang publik masih dikuasai pertarungan antarkubu yang masing-masing saling mengklaim kandidat mereka adalah yang terbaik. Sembari di sisi yang lain melancarkan kampanye negatif kepada kandidat lawan.
Lagi-lagi di atas kertas, visi, misi, dan program yang diusung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sama-sama baik. Kedua pasangan ini mengangkat tema besar soal kemandirian ekonomi nasional dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Tak percaya, tengok saja laman KPU yang memuat visi, misi, dan program kedua pasangan tersebut.
Yang akan menjadi pembeda adalah keberanian dan kemampuan mengeksekusi program-program yang sudah dijanjikan ketika mereka terpilih kelak. Selain itu, ekonom Hendri Saparini mengatakan, kemampuan mengomunikasikan visi, misi, dan program tersebut kepada publik dan legislatif.
Soal ini pun, masing-masing kubu mengklaim dirinya yang paling jago. “Semua konsep tersebut hampir sama di mana-mana. Yang bisa meyakinkan adalah Anda bisa menjalankan atau tidak,” tegas JK.
Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra Burhanuddin Abdullah menyebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, political will. Kedua, political capacity to implement. Soal ini, bekas Gubernur Bank Indonesia itu meyakini, Prabowo sosok yang paling tepat.
Jika wacana ditarik ke arah pengalaman di pemerintahan, ekonom Lana Soelistyaningsih menilai perbandingannya menjadi kurang pas. Pasalnya, Prabowo memang tidak pernah berkecimpung di birokrasi. Sedang Jokowi, JK, dan Hatta punya catatan positif dan kekurangan masing-masing selama menjadi birokrat.
Yang jelas, keriuhan politik belum akan berakhir usai rakyat masuk ke bilik suara pada 9 Juli nanti. Setelahnya, kegaduhan juga bakal muncul terkait bagi-bagi kursi menteri antarpartai pendukung. Sejumlah pelaku usaha dan ekonom berharap, posisi menteri terutama di bidang ekonomi hendaklah diisi kaum profesional.
Memang, sih, baik kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengklaim dukungan partai yang menjadi mitra koalisi tanpa syarat bagi-bagi kursi di kabinet kelak. Tapi, semua itu akan terungkap ketika salah satu pasangan keluar sebagai pemenang dalam pilpres.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 35 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News