Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah tengah mempersiapkan diri mengeluarkan kebijakan pemutihan pajak atau yang dinamakan tax amnesty atau special amnesty untuk menarik uang yang terparkir di luar negeri. Kebijakan yang tadinya akan dikeluarkan di tahun rekonsiliasi program Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) 2017 mendatang, malah dipercepat menjadi pertengahan tahun ini.
Meski mendapat dukungan dari Komisi XII DPR RI, rencana ini juga mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Bagaimana tidak, special amnesty akan diberikan kepada pelaku pidana umum dan pidana khusus, termasuk korupsi. Pemerintah hanya memberikan pengecualian terhadap pelaku pidana narkotika dan terorisme.
Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso pihaknya menolak keras rencana penerapan kebijakan ini. Menurut Agus, selama ini pihaknya dengan Ditjen Pajak telah membentuk tim satuan tugas (satgas) tindak pidana pajak untuk mengejar aset-aset hasil tindak pidana pajak.
Selain itu, ada pula satgas tim pemburu koruptor dan asset recovery yang diketuai Wakil Jaksa Agung dengan anggota berbagai institusi yang mengejar hasil kejahatan termasuk korupsi yang dilarikan ke luar negeri.
"Tim ini sudah berjalan beberapa waktu dan melibatkan counterpart di berbagai negara di luar negeri sehingga jika pemerintah mengeluarkan kebijakan baru tentu harus pula mempertimbangkan hal-hal seperti ini," kata Agus kepada KONTAN, Kamis (28/5).
Lebih lanjut menurut Agus, penerapan special amnesty menjadi kebijakan yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Apalagi korupsi merupakan tindak pidana khusus, sama halnya dengan tindak pidana narkotika dan terorisme. Dikhawatirkan, penerapan kebijakan ini justru memicu tindak korupsi yang lebih banyak.
"Itu kebijakan penerapan hukum pidana yang tidak equal, tidak mendidik, dan tidak membangun integritas bangsa," ungkap Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













