Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Razia penggunaan piranti lunak komputer alias software ilegal di kantor-kantor belakangan ini semakin gencar. Kali ini Polisi dan Business Software Alliance (BSA) mendapati dua perusahaan berskala nasional menggunakan produk perangkat lunak komputer bajakan. Polisi menemukan ada 1.300 software tanpa lisensi. Nilai kerugian akibat penggunaan software bajakan itu diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1 juta.
PT IT di Jakarta Selatan yang bergerak di bidang mesin dan konstruksi, menggunakan 4.000 lebih piranti lunak untuk 800 komputer dan 30 unit servernya. Dari hasil pemeriksaan pada 26 Februari sampai 2 Maret 2009, sebanyak 300 diantaranya ternyata merupakan software bajakan.
Sebelumnya, pada 11-13 Februari 2009, polisi telah memeriksa PT V, sebuah perusahaan jasa keuangan di Jakarta. Dari 600 lebih komputer dan 50-an unit server yang diperiksa, ternyata "Ditemukan lebih dari 1.000 piranti lunak tanpa lisensi dari perusahaan Microsoft, Adobe, dan Symantec," kata Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Rusharyanto, Penyidik dari Direktorat II Ekonomi Khusus Polri.
Belum ada tersangka dalam kasus ini karena masih dalam proses penyelidikan. Yang pasti, nantinya tersangka akan terkena sanksi menurut Undang-undang (UU) No.19/2002 tentang Hak Cipta. Ancaman hukumannya penjara maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp 500 juta.
Kepala Perwakilan BSA Indonesia Donny A. Sheyoputra, menyatakan temuan ini sekaligus membuktikan masih tingginya pelanggaran hak cipta program komputer di Indonesia. Ia menjelaskan selama ini software yang paling banyak dibajak adalah produk Microsoft, Adobe, Symantec, Autodesk dan McAfee. "Selain itu ada pula Corel dan SPSS (Statistical Package for Social Science)," ujar Donny.
Koordinator Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas HAKI), Anshori Sinungan menyatakan survei tahun 2007 menemukan dari seluruh program komputer yang dipakai di kantor-kantor, 84% merupakan software bajakan. "Itu turun dibanding tahun 2006 yang mencapai 85%," katanya. Dengan skala itu, kerugian totalnya bisa mencapai US$ 400 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News