CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

PNS Kerap Dimanfaatkan Untuk Pilkada


Kamis, 27 Mei 2010 / 10:40 WIB


Reporter: Teddy Gumilar | Editor: Tri Adi

JAKARTA. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) EE. Mangindaan menyatakan, sejak pemilihan kepala daerah digelar secara langsung, politisasi birokrasi marak dilakukan. Praktek ini jamak dilakukan oleh calon incumbent maupun penantang.

Menurut Mangindaan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) harusnya netral dari kepentingan politik praktis. Ini agar proses pemerintahan bisa berlangsung normal dan pelayanan publik tidak terganggu. Namun pada kenyataannya masih banyak calon kepala daerah yang memanfaatkan PNS demi kepentingan politiknya.

Modusnya bermacam-macam. Misalnya PNS dijadikan tim sukses dan corong salah satu kandidat, atau disuruh untuk memilih calon incumbent dalam pilkada. Hal ini disertai paksaan dan ancaman. “PNS nya jadi tidak berdaya karena kalau menolak posisinya bisa terancam, mereka bisa dipindahkan ke daerah terpencil,” tukasnya, Rabu (27/5).

Praktek politisasi birokrasi juga dilakukan oleh calon kepala daerah yang menjadi penantang. Mereka, kata Mangindaan meminta dukungan kepada PNS, dan dijanjikan kenaikan pangkat dan jabatan jika terpilih. Bagi yang tidak bersedia diancam akan dimutasi. Malah kadang pemenang pilkada ini membawa masuk tim suksesnya ke dalam birokrasi. “Ini tidak sesuai dengan penataan manajemen SDM karena penempatan seseorang dalam jabatan di pemerintahan harus sesuai dengan jenjang karirnya,” kata Mangindaan.

Perilaku tidak sehat ini marak terjadi lantaran pemerintah pusat sulit untuk mengendalikan kelakuan elit politik di daerah ini. Kepala daerah merasa dirinya sebagai pejabat Pembina kepegawaian daerah. Mereka berpegang pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.

Menpan bilang, dasar yang digunakan oleh kepala daerah itu tidak tepat, karena berdasarkan UU No 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pejabat pembina kepegawaian daerah bukanlah pejabat publik, melainkan pejabat karier tertinggi di daerah, yaitu sekda. “Ini untuk memisahkan ranah karier dan ranah politik,” katanya.

Menurut Mangindaan, pihaknya telah berkali-kali mengirimkan surat edaran yang disertai peraturan perundang-undangan yang melarang politisasi birokrasi. Isinya meminta agar posisi PNS tetap dibiarkan netral dalam pilkada. Namun hal ini tidak dipedulikan lantaran kepala daerah menafsirkan otonomi sebagai kekuasaan mutlak. “Kami butuh dukungan politik dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini. Kita kontrol bersama-sama praktik di daerah,” tukasnya.

Sementara itu Anggota Komisi II DPR Wa Ode Nurhayati mengungkapkan, praktik pemaksaan kepada PNS untuk memilih salah satu calon dalam pilkada berlangsung tanpa ada sanksi apa pun. “Di Konawe Selatan, Kepala Desa dipecat, guru yang tidak mendukung disikat. Tapi sampai saat sekarang bupatinya tetap menjabat,” tandasnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×