Reporter: Handoyo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Program pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagerjaan yang akan berlaku pada 1 Juli mendatang, masih menuai polemik dari perusahaan swasta dan BUMN yang telah mengelola dana pensiun.
Saat ini, sejumlah perusahaan masih belum menentukan sikapnya terkait pengalihan iuran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan jika program ini diberlakukan. Mereka masih wait and see alias menunggu finalisasi kebijakan tersebut, terutama besaran iuran jaminan pensiun. "Masih dilihat dahulu," kata Maryamto Sunu, Ketua Pengurus Dana Pensiun Kompas Gramedia (DPKG) kepada KONTAN, Rabu (3/6).
Menurut Maryamto, kondisi saat ini cukup sulit bagi perusahaan yang telah menjalankan program dana pensiun sebelum ada BPJS Ketenagakerjaan. Maryamto berdalih, hingga kini, perusahaannya telah memberikan manfaat pensiun kepada lebih dari 1.000 pekerja senior.
Selama ini, kata Maryamto, besaran iuran jaminan pensiun yang diterapkan KG adalah 27% dari penghasilan pekerja. Sebesar 21% iuran tersebut ditanggung perusahaan. Sementara sisanya sebesar 6% ditanggung oleh pekerja.
Berdasarkan riset KONTAN, saat ini DPKG memiliki dana kelolaan pensiun pekerja senilai lebih dari Rp 2,26 triliun. Jumlah pesertanya mencapai 5.211 orang dengan 3.958 di antaranya berstatus peserta aktif. Selama ini, DPKG mampu memberikan tingkat penghasilan pensiunan (TPP) sebesar 80% dari gaji terakhir.
Maryamto menambahkan, bila iuran BPJS tetap ingin diberlakukan, seharusnya yang dikenakan pekerja angkatan baru atau dimulai dari iuran yang kecil.
Pertamina tunggu PP
Pasalnya, jika tidak ada kesiapan, implementasi BPJS Ketenagakerjaan bisa menimbulkan gejolak di perusahaan yang telah mengelola dana pensiun pekerja.
Hal senada diungkapkan Wianda Pusponegoro, Vice President for Corporate Communication PT Pertamina (Persero). Selama ini, dana jaminan pensiun para pekerja di Pertamina dikelola sendiri oleh perusahaan dan ada yang ditempatkan di dana pensiun lembaga keuangan (DPLK).
Wianda enggan membeberkan besaran iuran jaminan pensiun yang diterapkan perusahaannya. "Kalau itu rahasia perusahaan," katanya.
Yang pasti, lanjut Wianda, saat ini Pertamina masih menunggu ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Pensiun yang masih digodok. Dus, pihaknya masih belum bisa menjelaskan apakah akan mengalihkan seluruh dana kelolaan jaminan pensiun pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan atau tetap memakai dua skema pengelolaan dana jaminan pensiun tadi.
Saat ini rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri memastikan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8% yang terdiri dari pemberi kerja sebesar 5% dan pekerja 3%.
Hanif belum bisa memastikan kapan RPP Jaminan Pensiun itu akan rampung. Ia juga enggan berspekulasi, jika sampai 1 Juli 2015 RPP Jaminan Pensiun belum disahkan, apakah pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). "Kalau belum tercapai, baru bicara Perppu. Saat ini, pembahasan yang alot hanya besaran iuran. Kalau ini sudah beres tinggal ketok palu saja,” kata Hanif.
Sedangkan Kementerian Keuangan menginginkan iuran pensiun sebesar 3%. Sementara para pengusaha menginginkan besaran iuran pensiun BPJS Ketenagakerjaan lebih rendah lagi, yakni 1,5%. Atas polemik ini, keputusan terakhir diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News