Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melaporkan Prompt Manufacturing Index (PMI)-BI triwulan II 2019 sebesar 52,66%. Angka ini tumbuh tipis dibanding triwulan I di level 52,65%. Namun, pencapaian itu tumbuh melambat jika di banding periode sama tahun lalu yang tumbuh 4,5%.
Berdasarkan subsektor PMI kontribusi terbesar berasal dari makanan dan minuman (Mamin) serta tembakau di level 54,95% yang tumbuh 5,2% di mana pada triwulan I sebesar 52,19%. Sementara, tahun 2018 sektor tersebut tumbuh pesat 26,92% di mana berada di level 62,13 pada triwulan II 2018.
Baca Juga: Kuartal II-2019, PMI manufaktur tumbuh tipis
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan secara musiman triwulan II memang akan mendapatkan vitamin untuk tumbuh karena adanya momentun Ramadan dan Lebaran. Tapi, tahun ini melambat lantaran kurangnya stimulus investasi di sektor manufaktur, kemudahan berusaha dan bisnis, serta Upah Minimum Pekerja (UMP) yang naik.
Josua bilang kinerja mamin dan tembakau sangat memengaruhi pertumbuhan PMI, sebab tiap tahun jadi kontributor utama terhadap kinerja PMI. “Meskipun dibanding sektor lainnya, kendala Mamin dan Tembakau tidak lebih sulit,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (11/7).
Misalnya sektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang terkendala masalah bahan baku. Dari sisi persediaan dan produksi industri ini terpantau turun. Wajar saja, pemerintah beberapa waktu lalu memberlakukan pembatasan impor.
Baca Juga: Permintaan Domestik Meningkat, Sektor Manufaktur Mengalami Ekspansi
Josua bilang ketergantungan impor karena teknologi yang berada di tiap sektor belum mumpuni dalam meningkatkan kuantitas. Sementara, katanya langkah pemerintah sudah cukup tepat dengan memberikan insentif pajak super sehingga dapat mendorong pertumbuhan industri.
“Untuk mendorong yang padat karya, itu kebijakan yang sangat baik,” kata Josua.
Di sisi lain, Josua merasa pemerintah masih perlu memberikan insentif lain. Misalnya pemerintah menyediakan teknologi yang mumpuni dibarengi dengan pengurangan pajak insentif, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi.
Baca Juga: BI rilis kinerja industri manufaktur triwulan I 2019 mengalami ekspansi
Dari sektor tekstil masih ada peluang untuk ditingkatkan sebab sektor ini adalah salah satu unggulan Indonesia. Misalnya dengan menggenjot ekspor tekstil dengan menilik pasar Internasional di luar yang sudah ada dan memperkuat penjualan domestik.
“Kalau dalam negeri sudah tercukupi dan demand melambat, maka harus melihat peluang ekspansi,” ungkap Josua.
Bila indikasi produksi tumbuh maka industri dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan devisa. Apalagi industri Mamin dan tekstil umumnya bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Baca Juga: BI: Kinerja industri manufaktur triwulan IV 2018 menurun
Selanjutnya, BI menargetkan PMI di triwulan III berada di level 52,11%. Melemah 1,04% dibanding pencapaian triwulan II. Menurut Josua, prediksi BI wajar karena pada kuartal III sudah kehilangan momentum. Namun sampai akhir tahun dia optimistis masih bisa tumbuh didukung sentimen eksternal dan internal.
Kemarin, Gubernur The Federal Reserve Jarome Powel cenderung dovish yang semakin yakin untuk memangkasi fed rate. Sehingga hal ini berdampak terhadap kemungkinan BI untuk melakukan kebijakan yang sama dengan memotong suku bunga acuan atau BI 7 Day Reserve Repo Rate (BI7-DRR).
Baca Juga: Kadin: Kenaikan PMI Kuartal I disebabkan peningkatan konsumsi domestik
Josua menilai tentunya dengan potensi kebijakan moneter di bank sentral global dan BI jadi pendorong positif khususnya di sektor manufaktur, yang cukup mengandalkan pinjaman perbankan dapat lebih efisien dan efektif meningkatkan kredit.
Jadi ketika industri manufaktur hendak ekspansi tidak ada kendala dalam permodalan. Namun, dari industri sendiri secara bersamaan perlu meningkatkan kualitas SDM biar produksi meningkat. Josua optimis sektor manufaktur bisa tumbuh 5% sampai dengan akhir tahun 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News