kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45904,14   5,39   0.60%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perpanjang kontrak JICT, Pelindo II digugat


Selasa, 17 November 2015 / 18:53 WIB
Perpanjang kontrak JICT, Pelindo II digugat


Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) tengah menghadapi gugatan pernuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adalah FX Arief Puyuono dan Haris Rusli perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu yang bertindak sebagai penggugat.

Arief menerangkan gugatan warga negara (citizen law suit) ini berkenaan terkait perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT). Maka dari itu pihaknya tak hanya menyeret Pelindo II sebagai tergugat tapi juga menyeret Menteri Perhubungan Republik Indonesia sebagai tergugat II.

"Kami menilai, menteri perhubungan memiliki peran penting untuk perpanjangan kontrak ini selaku regulator," ungkap Arief di Jakarta, Selasa (17/11). Tak lupa, pihaknya juga menyertakan Hutchison Port Holdings Limited dan PT Jakarta International Cobtainer Terminal (JICT) sebagai turut tergugat I dan turut tergugat II.

Nah, terkait isi gugatanya sendiri berdasarkan berkas yang didapat KONTAN, Arief menilai adanya indikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan Pelindo II terhadap perpanjangan konsesi JICT dan membiarkan Hutchison untuk mengoperasikannya serta memelihata termibal petikemas di pelabuhan Tanjung Priok.

Dimana 51% saham JICT dimiliki oleh Hutchison yang berlaku selama 20 tahun hingga 2038 mendatang. "Perpanjangan tersebut melanggar Pasal 1 angka 23 dan Pasal 82 ayat 3 Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," jelas Arief.

Lanjut dia, pelanggaran tersebut lantaran konsesi kepada Hutchison melalui kepemilikan saham di JICT dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan.

Tak hanya itu, perpanjangan tersebut dinilai Arief juga turut melanggar Pasal 2 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2003 dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. "Pelindo II dan Hutchison patut diduga melakukan persengkokolan agar Hutchison memenangkan tender konsesi tersebut, jelas perbuatan ini bertentangan dengan UU No. 5," tambah dia.

Kemudian, menurut Arief perpanjangan konsesi itu juga melanggar asas kepatutan lantaran nilai yang didapat Pelindo II dari Hutchison terlalu rendah yakni hanya US$ 215. Padahal kapasitas volumenya sudah meningkat dua kali lipat menjadi 2,8 juta teus.

Selanjutnya, Arief juga mengutarakan, hasil verifikasi Financial Research Institute (FRI) yang adalah konsultan independen Dewan Komisaris Pelindo II menyatakan nilai JICT saat ini seharusnya adalah US$ 854 juta. Dengan begitu, bila Hutchison hanya mengeluarkan dana US$ 215 juta seharusnya hanya berhak memiliki 25,2% saham JICT.

"Nilai konsesi baru yang US$ 215 juta itu hanya setara dengan keuntungan JICT selama dua tahun," tegas Arief. Di sisi lain, keputusan Pelindo II ini mengabaikan fakta, selama 16 tahun terakhir JICT sudah berkembang menjadi salah satu pelabuhan petikemas terbaik bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia.

Dengan demikian, seharusnya sumber daya manusia Indonesia sudah belajar cara mengelola pelabuhan petikemas secara mandiri dan menguasai tenolihi yang dibutuhkan tanpa memerlukan keterlibatan pihak asing. Artinya, transfer "know-how" yang diperkukan pada 1999 seharusnya sudah selalesai.

"JICT sudah berkembang menjadi perusahaan menguntungkan dengan pendapatan US$ 280 juta di 2013," imbuh Arief. Adapun lanjutnya , keuntungan JICT dengan skema lama mencapai US$ 106 juta. Padahal menurut hitungannya tanpa keterlibatan Hutchison, keutungan yang diperoleh untuk negara bisa mencapai US$ 160 juta.

Maka dari itu dengan adanya perpanjangan konsesi ini menimbulkan kerugian bagi para penggugat baik secara materiil maupun imateriil. Secara materiil Arief menilai adanya kerugian US$ 2,83 miliar. Jumlah tersebut berdasarkan hitungan dari keuntungan Hutchison yang diperoleh dengan memegang 51% saham JICT.

Sementaran kerugian imaterial para penggugat adalah ketergantungan nadi perekonomian nasional pada pihak asing yakni Hutchison. Khususnya dalam hal jasa pengiriman logistik dan arus lalulintas petikemas internasional melalui pelabuhan dan pengembangan pelabuhan.

Dengan begitu, dalam petitumnya gugatannya Arief meminta kepada majelis hakim untuk menerima gugatannya dan menyatakan para tergugat bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.

Serta memerintahkan Hutchison membatalkan perpanjangan konsesi JICT untuk mengoperasikan dan memelihara terminal petikemas di pelabuhan Tanjung Priok. Dimana 51% saham JICT dimiliki oleh Hutchison yang berlaku hingga 20 tahun sejak 2019.

Perkara dengan No. 349/PDT.G/2015/PN JKT.PST ini baru memasuki sidang perdana Kemarin yang beragendakan pemeriksaan surat kuasa dari dua pihak. Di dalam persidangan juga perwakilan Hutchison menyampaikan, pihaknya belum bisa mengajukan jawaban atas gugatan penggugat.

"Kami belum dapat gugatannya, lagipula kita perlu mengkonfirmasi dan mengumpulkan beberapa dokumen dari klien yang berada di luar negeri," ungkap dia di persidangan.

Sementara itu, Diana, perwakilan dari Pelindo pun belum bisa berkomentar banyak.

"Kami juga baru menerima gugatannya, saya hanya menggantikan kepala biro hukum Pelindo II, nanti beliau yang akan hadir di persidangan seterusnya," ungkap dia kepada KONTAN.

Sekadar informasi, sidang akan dilanjutkan kembali dua pekan kedepan dengan agenda kelengkapan surat kuasa dari para pihak. Sebagai gambaran, permasalahan perpanjangan konsesi JICT ini memang menjadi panas. Karena secara tiba-tiba Pelindo II memperpanjang kontrak sebelum kontrak itu habis pada 2019.

Perpanjangannya pun selama 20 tahun atau hingha 2039 mendatang. Dalam amandemen kerjasama usaha (KSU) itu, kini Hutchison menguasi 51% saham JICT dan Pelindo II menguasai 49% saham.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×