Reporter: Adinda Ade Mustami, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk antisipasi penyakit di pasar keuangan domestik pada Mei-Juni. Nyatanya, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tetap melemah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) pun rontok.
Kini, BI akan fokus mengandalkan strategi jangka pendek untuk mencegah krisis keuangan. Setelah mencapai titik terrendah pada perdagangan Senin (8/6), kurs rupiah kembali melemah terhadap dollar AS pada Selasa (9/6). Kurs tengah BI mencatat nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.362 per dollar AS.
Perdagangan kemarin, kurs rupiah hanya melemah 2 poin, lebih kecil dari sehari sebelumnya turun 72 poin. Rupiah memang sedikit terkendali karena BI mulai intervensi.
Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara, bilang, bank sentral telah turun ke pasar dengan melepas dollar AS demi stabilitas rupiah sejak awal pekan ini. Ke depan, BI menjanjikan akan terus melakukan intervensi untuk menjaga rupiah.
BI tak hanya menjaga pasar uang, tapi juga obligasi dengan membeli surat berharga negara (SBN) yang dilepas oleh investor asing. Sejauh ini, kepemilikan asing di SBN memang berkurang. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat dana asing di SBN per Senin (8/6) sebanyak Rp 513,17 triliun atau 38,27%. Jumlah ini susut Rp 2,66 triliun dari perdagangan sehari sebelumnya, Jumat (5/6).
"BI pasti akan ambil kesempatan membeli SBN dari pasar pasar sekunder," tandas Gubernur BI, Agus Martowardojo, Senin (8/6).
Pembelian SBN juga untuk mengurangi tekanan pada nilai tukar rupiah. Apalagi, belakangan ini imbal hasil SBN cukup memuaskan. Berdasarkan data pasar, yield obligasi 10 tahun pemerintah tercatat mencapai 8,71% pada Senin (8/6) dan turun tipis ke 8,55 pada Selasa (9/6). Yield pada Senin adalah level tertinggi sejak Februari 2014.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, peningkatan yield SBN belakangan ini memang telah menunjukkan sinyal bahaya. Hal ini akan menambah beban pemerintah dalam mengelola surat utang. Namun, saat ini pemerintah belum sampai pada kebijakan intervensi. Pemerintah belum meminta perusahaan pelat merah atau badan usaha milik negara (BUMN) untuk membeli SUN. "Pokoknya ini masih dalam pengawasan kita," terang Bambang.
Currency war
Di balik ini semua, BI mengingatkan masih ada satu hal lagi yang membutuhkan kewaspadaan, yakni perang antar mata uang atau currency war.
Ancaman ini bakal menjadi tren seandainya peningkatan suku bunga AS berjalan secara berkala selama tiga tahun mendatang. Mata uang rupiah akan terkena imbas jika dinamika tersebut menjadi fenomena dunia.
Saat currency war terjadi, setiap negara akan berlomba memperlemah nilai mata uangnya terhadap dollar AS. Ini untuk mendongkrak kinerja ekspor. "Dalam kondisi ini, bisa jadi rupiah malah menguat terhadap beberapa mata uang negara-negara maju, sehingga saat itu kurang bagus bagi ekspor," kata Direktur Komunikasi BI Peter Jacob, Selasa (9/6).
Agar tak terjerumus di currency war, BI akan terus melakukan percepatan pendalaman pasar keuangan. Setelah mengeluarkan tiga Peraturan BI (PBI) mengenai valuta asing, BI akan mengeluarkan kebijakan baru sebagai upaya percepatan pendalaman pasar. "Ke depan akan ada lagi kebijakan lainnya, seperti LTV (loan to value) demi menjaga stabilitas ekonomi," imbuh Peter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News