kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penurunan inflasi inti masih dalam target, waspada daya beli tetap perlu


Minggu, 04 Maret 2018 / 15:21 WIB
Penurunan inflasi inti masih dalam target, waspada daya beli tetap perlu
ILUSTRASI. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti bulanan (month to month) pada Februari 2018 sebesar 0,26%. Angka itu lebih rendah dibandingkan inflasi inti bulan Januari 2018 yang sebesar 0,31% (mtm). Secara tahunan inflasi inti Februari tercatat 2,58%, juga lebih kecil dibandingkan inflasi itu Januari 2018 yang sebesar 2,69%.

Kinerja inflasi inti selama ini erat kaitannya dengan daya beli. Penurunan inflasi inti menandakan pemulihan daya beli konsumen belum berjalan.

Tapi, Bank Indonesia (BI) melihat, penurunan inflasi inti masih dalam target. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan, kekhawatiran terhadap penurunan inflasi inti itu kurang tepat.

“Kalau inflasi intinya deflasi, baru bisa dibilang mengkhawatirkan. Karena Indonesia negara yang masih harus menurunkan inflasi, bukan menaikkan deflasi,” kata Mirza di Gedung BI, Jumat (2/3).

Mirza bilang, yang terjadi saat ini justru aktivitas ekonomi di Tanah Air membaik. “Ada tanda-tanda terjadi peningkatan aktivitas di sektor riil dari kenaikan impor. Kenaikan impor itu sinyal bahwa aktivitas investasi meningkat. Karena barang modal impornya meningkat, raw material impornya meningkat, menunjukkan aktivitas ekonomi itu lebih baik dibanding semester 1 tahun lalu,” ujar Mirza.

Meski ekonomi Indonesia baik, BPS menyatakan ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait inflasi yang mempengaruhi daya beli masyarakat, yakni pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak dunia.

Di sisi pelemahan rupiah, Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Yunita Rusanti bilang, dampaknya ke inflasi bisa lewat bahan makanan seperti kedelai, gandum, dan jagung yang masih didapat dari luar negeri atau impor.

“Barang-barang impor, kan kedelai masih impor, jagung impor, gandum, cuma kita konsumsinya produk lebih lanjut dari itu. Kalau jagung lebih digunakan untuk pakan ternak. Kalau pakan ternak naik, khawatirnya ayamnya juga naik, telur ayam ikut naik,” kata Yunita beberapa waktu lalu.

“Kalau harga gandum naik, dampaknya ke mie, roti. Kalau kedelai tahu tempe. Akan ada pengaruh ke situ,” lanjut Yunita.

Terkait harga minyak, BPS menyatakan meski ada dampaknya ke inflasi, komposisi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi ke inflasi tidak sebesar kenaikan harga BBM subsidi seperti premium dan pertalite.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan, risiko dari kenaikan harga minyak dunia kepada inflasi bisa dari dua jalur, yakni kenaikan harga BBM dan kenaikan biaya produksi perusahaan yang nantinya akan terasa ke konsumen. N

amun demikian, pemerintah sudah berjanji tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi. “Kalau bisa administered prices tidak naik karena daya beli masyarakat harus dijaga,” kata Eric kepada KONTAN.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Doddy Zulverdi bilang tambahan tingkat inflasi akibat kenaikan harga BBM non subsidi sebesar 0,5%.

"Walaupun ada penyesuaian harga Pertamax yang non subsidi, perhitungan kami angkanya kecil, 0,5% atau di bawah itu. Berdampak tapi tidak lewat dari kisaran range yang ditetapkan BI," kata Doddy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×