Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Pemilik fasilitas olahraga golf bisa bernafas lega. Pasalnya, pemerintah tak bisa lagi mengenakan pajak hiburan bagi para pengusaha tempat atau arena golf.
Ini merupakan konsekuensi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan semua permohonan uji materiil pasal 42 ayat 2 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB).
Adalah Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia (APLGI) dan sembilan perusahaan lapangan golf, antara lain PT Pondok Indah Padang Golf (Tbk), PT Padang Golf Bukit Sentul, PT New Kuta Golf and Ocean View, dan PT Damai Indah Golf yang mengajukan gugatan tersebut.
Mahkamah Konstitusi memutuskan, pengusaha tempat golf bukan termasuk penyelenggara jasa hiburan yang bisa dikenakan objek pajak hiburan. Menurut MK, kata "golf" dalam pasal 42 ayat (2) huruf g UU PDRB, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam amar putusan nomor 52/PUU-IX/2012 , MK menilai, golf tidak dapat dikelompokkan sebagai sebuah hiburan semata, sehingga dapat dikenai pajak hiburan. Selain itu, pengenaan pajak hiburan akan mengakibatkan penambahan beban pengeluaran pengusaha tempat golf. Sebab, pengadaan maupun pemeliharaan lapangan golf sudah sangat mahal. Di sisi lain, penyelenggara golf juga sudah dikenai pajak daerah lain, seperti pajak restoran dan pajak parkir yang juga berkontribusi pada kas daerah.
Harry Ponto, kuasa hukum pemohon uji materi mengatakan, putusan MK meluruskan kembali ketentuan dalam beleid UU PDRB bahwa golf tidak termasuk kategori hiburan yang dikenakan pajak daerah.
Menurut Harry, berdasarkan pasal 1 angka 12 dan angka 13 Undang-Undang Sistem Keolahragaan, jelas disebutkan bahwa golf termasuk olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Bahkan di level internasional, golf sudah dianggap sebagai olahraga.
Dengan begitu, tidak pas kalau golf dimasukan kategori hiburan. "Kalau pelaku usaha penyelenggara golf sebagai penyedia jasa hiburan dan bukan olahraga, ini diskriminatif," kata Harry, Kamis (19/7).
Atas keputusan MK tersebut, Harry meminta pemerintah dan DPR teliti dan hati-hati dalam membuat undang-undang. "Banyak aturan yang dibatalkan MK, karena tidak memiliki kepastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945," jelasnya.
Belum ada keterangan dari pemerintah soal putusan MK tersebut. Tapi, dalam risalah putusan MK, pemerintah berpendapat, pengenaan pajak hiburan kepada pengusaha tempat golf sudah tepat. Dirjen Perimbangan Kementerian Keuangan, Marwanto Hardjowiryono menyatakan, kata "golf" dalam pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/ 2009 adalah bentuk permainan bukan olahraga golf.
Selain itu, menurut pemerintah, tak bisa dipungkiri kebanyakan permainan golf adalah untuk mendapatkan kesenangan. Jadi pengenaan pajak hiburan kepada pengusaha arena golf bukan perlakuan diskriminatif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News