Reporter: Arsy Ani Sucianingsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidaksiapan para pelaku usaha dalam menerapkan nomor induk kependudukan (NIK) dalam faktur pajak elektronik (e-fatktur), menjadi salah satu alasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunda kebijakan e-faktur.
“Kami berbincang dengan para pabrikan, memang kelihatannya ada kesulitan,” Kata Dirjen Pajak Robert Pakpahan saat di temui usai peninjauan pelaporan SPT di KPP Jakarta, Sabtu (31/3).
Menurut Robert, jika dipaksakan, Ditjen Pajak khawatir pelaksanaan tidak akan mulus lantaran adanya perbedaan pada down level yang ada di pabrikan atau pelaku usaha. Penundaan ini juga dilakukan untuk menghindari ketidakpastian usaha di kemudian hari.
“Di down levelnya itu dari pabrikan karekternya beda-beda. Jadi daripada di kemudian menimbulkan sesuatu yang tidak menentu, kita petakan dulu kondisinya,” kata Robert.
Robert menambahkan, hingga saat ini perusahaan yang sudah melakukan e-faktur sudah terbiasa dengan kebijakan yang saat ini berlaku. Seharusnya pengisian e-faktur disertakan dengan NPWP. Hal ini di perlukan untuk para pembeli yang akan mengkreditkan e-faktur tersebut.
“Sekarang ini kalau dia tidak ada identidas tidak ada NPWP ya tidak bisa dikreditkan. Hal ini kami harapkan at least NIK-nya ditulis, tapi kelihatannya pembeli ini variasinya terlalu banyak,” katanya.
Secara terpisah Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, persoalannya meamng terjadi pada para pengusaha. Menurutnya kebijakan ini sendiri bersifat baik dan dibutuhkan.
“Faktanya banyak pembeli yang nakal, tidak mau ketahuan identitasnya supaya tidak bisa diketahui usahanya,” kata Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id.
Yustinus melanjutkan, Selain itu pemerintah juga memiliki sistem yang belum memungkinkan. Menurutnya, pemerintah tidak praktis meminta NIK atau NPWP kepada setiap pembeli lalu DJP menginputnya. “Tugas ekstensifikasi malah digeser jadi beban Perusahaan Kena Pajak (PKP) penjual,” imbuhnya.
Selain itu, jika PKP tesebut menjalankan aturan dengan baik, maka yang terjadi adalah pembeli yang pindah ke penjual yang belum minta NIK atau NPWP. "Akibatnya malah ada disinsentif bagi yang patuh," imbuh Yustinus
Dari sisi perekonomian, lanjutnya, kebijakan ini dalam jangka pendek menimbulkan shortage, lantaran orang takut konsumsi yang pada akhirnya berpengaruh pada output perekonomian.
Dengan demikian, tanpa persiapan dan kesiapan akan jadi sulit. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah untuk segera mengintegrasi NPWP dan NIK. Pemerintah perlu menyediakan sistem electronic data capture yang memungkinkan input otomatis NIK/NPWP ke dalam administrasi PPN.
“Ekstensifikasi yang masif, pastikan bahwa seluruh pengusaha penjual memang perushaan PKP dan tertib sehingga tidak ada ruang untuk pembeli beralih ke black market,” pungkas Yustinus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News