Reporter: Yudho Winarto | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Pengadilan Niaga Jakarta memutuskan untuk menunda homologasi alias pengesahan rencana perdamaian PT Daya Mandiri Resources Indonesia dan PT Dayaindo Resources International Tbk dengan krediturnya. Ini lantaran belum tercapai kesepakatan perihal besaran imbal hasil pengurus selama proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
"Majelis hakim akan mengeluarkan penetapan imbal jasa pengurus pekan depan. Kami belum sepakat soal fee," kata pengurus Djawoto Jowono, Minggu (17/3). Menurutnya, Majelis Hakim baru akan memutuskan imbalan jasa untuk pengurus pada Selasa (28/3) mendatang. Sejauh ini belum secara pasti berapa besar imbalan yang diminta pengurus. "Yang jelas sesuai undang-undang," katanya.
Rencananya, pada 18 Maret mendatang baik antara pengurus dengan Dayaindo dan DMRI selaku debitur bakal melakukan pertemuan membahas perihal imbal hasil ini. "Kalau sebelumnya kami yang mencoba merayu para kreditur untuk setujui proposal perdamaian, kini giliran kami yang semestinya dirayu perihal imbal hasil ini," ujarnya.
Jika merujuk dalam Peraturan Menteri No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus paling banyak 10% dari nilai utang yang harus dibayar oleh debitur.
Total utang DMRI dan Dayaindo mencapai Rp 700 miliar. Taruh saja angka yang diminta pengurus 5%, imbal jasa pengurus mencapai Rp35 miliar. Asal tahu saja, mengacu UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, imbal jasa pengurus ini harus selesai sebelum pengesahan perdamaian.
Selain perihal imbal jasa pengurus yang mengganjal langkah pengesahan perdamaian, satu lagi menyangkut syarat yang diajukan PT Bank Internasional Indonesia (BII) soal pembayaran down payment Rp 15 miliar atas seluruh utang Rp 90 miliar sebelum tanggal 20 Maret mendatang. Pasalnya, syarat ini yang dicantumkan BII sehingga menyetujui proposal perdamaian saat voting PKPU.
"Kami berharap debitur benar-benar memenuhi janjinya membayar down payment sebelum rencana perdamaian disahkan," kata kuasa hukum BII Swandy Halim.
Sisa pembayaran dari total utang DMRI ke BII Rp 73,4 miliar diangsur hingga Desember 2013. Direktur DMRI Ardiyanto mengatakan pihaknya sudah tidak memikirkan lagi rencana menghimpun dana di pasar modal lewat initial public offering (IPO) perusahaan yang dipimpinnya. "Kami akan mengandalkan dana dari pemegang saham," ujarnya.
Sebelumnya, dalam beberapa proposal yang ditawarkan kepada kreditur tercantum rencana perusahaan untuk menggunakan dana publik lewat IPO DMRI guna membayar sebagian utang-utangnya.
Bahkan dalam rencana yang disepakati juga masih tercantum kemungkinan itu. Swandy minta apabila IPO dilakukan maka perlu dicantumkan perintah agar bank yang menampung dana membayar kepada BII sebagai bagian pembayaran utang.
Sementara itu, SUEK AG tetap pada komitmennya menarik diri dari proses PKPU dan akan melanjutkan proses hukum luar biasa di tingkat peninjauan kembali atas permohonan pailit yang pernah diajukan perusahaan asal Swiss itu.
Pada 30 Agustus 2012 pengadilan menolak permohonan pailit yang diajukan SUEK yang kemudian melanjutkan ketingkat kasasi. Majelis hakim agung menolak permohonan kasasi pada 11 Januari 2013. Selanjutnya pada 3 Desember DMRI dan Dayaindo berada dalam PKPU sementara setelah dikabulkannya permohonan BII. SUEK ikut dalam proses ini.
Lewat kuasa hukumnya, Gita Patrimalia, SUEK mengajukan pengunduran diri dari restrukturisasi pada 28 Februari. Mereka beranggapan PKPU cacat hukum dan tak puas dengan tawaran penyelesaian utang yang ditawarkan.
Penilaian bahwa PKPU cacat juga disampaikan oleh Bulk Trading SA, salah satu kreditur yang kehadirannya sempat ditolak meski akhirnya diakui dengan berbagai syarat.
Proses hukum dinilai menyalahi UU Kepailitan dan PKPU karena dalam voting 15 Januari jumlah suara kreditur yang setuju belum memenuhi syarat dan debitur harus nyatakan pailit. Namun, majelis hakim memberikan PKPU tetap pada 30 Januari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News