kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat UPH: Beleid pajak e-commerce perlu kaji ulang mengenai tarif dan teknisnya


Minggu, 13 Januari 2019 / 20:46 WIB
Pengamat UPH: Beleid pajak e-commerce perlu kaji ulang mengenai tarif dan teknisnya


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Boko menilai beleid yang dikeluarkan pemerintah terkait e-commerce pekan lalu belum matang.

Pemerintah mesti mengkaji ulang penerapan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi pedagang online, serta melakukan simulasi terkait teknisnya.

"Tarifnya harus spesial tidak bisa disamakan dengan pedagang konvensional. Teknis pelaksanaannya juga berat," jelas Ronny saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (13/1).

Terkait tarif, pengenaan PPh 0,5% bagi pedagang yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar mesti disesuaikan mengenai standar penarikannya. Pasalnya, menurut Ronny, pelaku e-commerce tak secara simultan melakukan penjualan.

Berbeda dengan pedagang atau usaka mikro kecil menengah (UMKM) yang bisa terus memproduksi dan melakukan transaksi.

Sebab, bila disamakan beleid ini bisa dianggap membebani geliat usaha. "Kalau UMKM jelas objeknya ada setiap saat, kalau e-commerce kan tidak. Itu harus ada spesifiknya kapan dikenakan. standarnya harus dispesialisasikan," ungkap dia.

Selain itu, peraturan menteri keuangan (PMK) 210/PMK.010/2018 ini juga mengatur kewajiban penyedia platform untuk melaporkan kegiatan transaksi pedagang online yang berada di bawah mereka.

Juga mewajibkan penyedia platform memungut, menyetor dan melaporkan PPh dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari kegiatan transaksi mereka.

Menurut Ronny, pelaksanaannya akan menemui kendala. Pasalnya, peraturan ini akan membebani kantor pajak dalam penerimaan laporan. Sebab digitalisasi saat ini dinilai belum baik. Pun proses menyetorkan, jangan sampai malah menemui birokrasi yang berbelit-belit.

"Itu harus jelas juga siapa yang menagih dan kapan jadi memang proses sudah jelas ketika dipungut. Jangan hanya dikenakan tarif tapi sistemnya abu-abu," jelas dia.

Pun peraturan ini perlu kerja sama dengan perbankan. Pasalnya transaksi dana dilaksanakan secara online pastinya melalui perbankan. Harus jelas mulai dari pungutan yang dilakukan bank, serta alamat penyetorannya hingga tanda terima pungutan bagi pelaku yang melakukan transaksi online.

Mengenai mekanisme pelaporan, pemerintah menegaskan dilakukan secara elektronik. "Tinggal kita atur mekanisme pelaporannya, sebagian besar secara elektronik, agar tidak memberatkan," ungkap Yoga Hestu Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Sabtu (12/1).

Hestu meyakini rekapitulasi transaksi penyedia platform selama ini sudah tertata dengan baik.

Di samping itu, ketentuan ini untuk meningkatkan kepatuhan dan mengajak para pelaku e-commerce untuk berkontribusi dalam pembangunan negara melalui pembayaran pajak. Sama persis dengan pelaku usaha konvensional.

"Tujuan utamanya adalah menegaskan equal treatment antara pelaku usaha di e commerce dengan yang konvensional," tambah Hestu.

Apabila pelaku e-commerce baik pedagang dan penyedia jasa atau pelapak omzetnya tidak lebih dari Rp 4,8 miliar maka bisa memanfaatkan PPh final UMKM 0,5% dari omzet sesuai PP 23 tahun 2018. Juga tidak wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memungut PPN apabila omset tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×