Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia diributkan dengan masalah impor khususnya impor beras sebanyak 261.000 ton. Impor tersebut dipermasalahkan lantaran dapat mengganggu harga di petani khususnya menjelang panen.
Pengamat Pertanian Dwi Andreas Santosa berpendapat, masyarakat harus melihat permasalahan impor ini dengan lebih rasional mengingat impor tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Dwi menuturkan, impor bisa dilakukan karena produksi yang berkurang atau ketika terjadi disparitas harga yang tinggi antara barang di luar negeri dengan barang yang tersedia di dalam negeri.
Khusus untuk beras, Dwi berpendapat, impor dilakukan karena kurangnya produksi padi di dalam negeri. Padahal, Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim bahwa Indonesia mengalami surplus beras pada 2017.
" Data Kemtan mengatakan Indonesia surplus beras sebanyak 17,6 juta ton pada 2017. Tetapi data kajian kami menunjukkan hal lain, bahwa produksi 2017 lebih kecil dibandingkan 2016. Ini pun terlihat dari harga beras yang meningkat drastis," ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Kamis (22/3).
Dwi tidak menampik bila isu impor ini sangat menarik baik dari sisi politik dan ekonomi. Karena itu, banyak orang-orang yang tidak memahami isu impor ini mulai memperdebatkan impor beras. Padahal, beras tersebut masuk ke gudang Bulog dan tidak langsung digelontorkan ke masyarakat. Bukan hanya itu, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia masih melakukan impor beras dalam jumlah yang banyak.
"Kita mengimpor beras sejak November 2015 hingga Maret 2016. Masing-masing 300.000 ton, itu tidak ada yang meributkan, tenang-tenang saja. Menurut saya pada 2018 memang ada kesalahan perencanaan. Kami sudah menyarankan untuk mengimpor sejak November 2017 karena stok beras nasional sudah menipis sejak 2017," terang Dwi.
Menurut Dwi, masih ada komoditas lain yang bisa diributkan. Terdapat impor gandum yang melonjak tinggi dan impor lainnya. Namun, tidak ada masyarakat yang mempermasalahkan impor tersebut.
Lebih lanjut dia berpendapat, pembangunan pertanian juga perlu dilihat secara rasional. Pemerintah mengklaim adanya swasembada. Namun, total impor untuk 7 komoditas pangan yakni beras, jagung, gandum, ubi kayu, bawang putih, kedelai, dan gula tebu justru meningkat sejak 2014 dari 21,7 juta ton menjadi 25,4 juta ton pada 2017.
"Kalau ditotal impor bukannya turun tapi naik. Klaim yang ada berbeda dengan data yang ada," kata Dwi.
Selain beras, Indonesia juga mengimpor bawang putih dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan pangan. Menurut Dwi, hal tersebut wajar dilakukan mengingat produksinya yang semakin tipis. Padahal, puluhan tahun lalu produksi kedelai dan bawang putih Indonesia sempat bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Menurut Dwi, banyak petani yang beralih ke komoditas lain setelah impor bawang putih dan kedelai gencar dilakukan karena pada saat itu harganya yang lebih murah.
Menurut Dwi, saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana melindungi harga di tingkat usaha tani. Setiap pengembangan di bidang pertanian harus memperhatikan berapa besar harga yang akan diterima petani. Dia bilang, bila produksi terus ditingkatkan tanpa memperhatikan permintaan, maka harga di petani akan turun.
Pemerintah tengah gencar meningkatkan produksi komoditas pangan. Namun, dia berpendapat, bila produksi satu komoditas yang ditingkatkan, maka harus ada produksi komoditas lain yang harus dikorbankan karena luas lahan terbatas.
Dwi berpendapat sebaikannya semua subsidi dan bantuan dihapuskan. Uang subsidi tersebut lebih baik disalurkan langsung kepada petani. Pasalnya, peningkatan produksi dari subsidi tersebut juga dipertanyakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News