kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,85   -24,88   -2.68%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Penurunan PKP bisa naikkan pendapatan negara, tetapi biayanya juga mahal


Minggu, 01 Agustus 2021 / 20:00 WIB
Pengamat: Penurunan PKP bisa naikkan pendapatan negara, tetapi biayanya juga mahal
ILUSTRASI. Pengamat: Penurunan PKP bisa naikkan pendapatan negara, tetapi biayanya juga mahal


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia menilai, Indonesia perlu menurunkan ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP) untuk meningkatkan basis pajak dari aktivitas ekonomi digital. 

Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen, ambang batas saat ini yang sebesar Rp 4,8 miliar per tahun masih terlalu besar dan ditinjau ulang. 

Kahkonen menyarankan, pemerintah Indonesia menurunkan threshold PKP menjadi Rp 600 juta per tahun. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak wajib pajak (WP) yang membayar pajak penghasilan (PPh) badan sehingga mengurangi pembayaran PPh Final oleh beberapa korporasi. 

Sementara, tarif PPh Badan saat ini sebesar 22% dan tahun depan turun menjadi 20%. Sementara tarif PPh Final untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebesar 0,5%. Dalam hal ini UMKM dikenakan tarif PPh Final karena penghasilan per tahun di bawah Rp 4,8 miliar per tahun.

Baca Juga: Bank Dunia sarankan RI turunkan threshold PKP untuk perluas basis pajak digital

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, bila dilihat dari sudut pandang prinsip revenue adequancy (kecukupan penerimaan negara), penurunan threshold PKP memang berpotensi meningkatkan penerimaan dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

“Pasalnya, akan banyak pengusaha kecil yang harus memungut PPN, setor ke kas negara, dan lapor ke kantor pajak. Hal ini sejalan dengan rencana pergeseran basis penerimaan pajak dari PPh ke PPN, sesuai RUU KUP 2021,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (1/8). 

Sayangnya, bila dilihat dari sudut pandang ease of administration, maka dengan adanya kebijakan ini akan banyak pengusaha kecil yang akan repot dari sisi administrasi dan meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost). 

Karena dengan diturunkannya threshold, maka banyak pengusaha kecil yang harus menjadi PKP, memungut PPN, menyetor PPN, dan melaporkan SPT PPN setiap bulan. 

Baca Juga: Impor Yacht untuk Wisata Tak Kena PPnBM 75%

Dari sisi pemerintah, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP), maka ini juga akan meningkatkan biaya administrasi (administration cost) karena berarti akan ada upaya lebih untuk mengawasi PKP dengan omzet di dalam rentang threshold baru.

Bahkan, kekhawatirannya, ini menjadi tidak efisien karena bisa saja biaya administrasi dalam melakukan ini tidak sebanding dengan penerimaan PPN. 

Untuk saat ini, Prianto melihat pemerintah condong untuk mempertahankan threshold PKP alias dengan melihat ke sudut pandang ease of administration. 

“Namun, sejauh yang kami lihat, pemerintah pasti akan memilih mana yang dianggap paling rasional, sesuai dengan rational choice theory karena di setiap kebijakan ada saja prinsip pajak yang bertentangan,” tandasnya. 

Selanjutnya: Kapal pesiar dan yacht kini bebas PPnBM 75%, ini ketentuannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×