Reporter: Teodosius Domina | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tim kuasa hukum terdakwa kasus korupsi KTP-elektronik Setya Novanto menuding jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak cermat dalam menyusun surat dakwaan.
Maqdir Ismail dan kawan-kawan mempermasalahkan pemisahan berkas pidana atau splitsing. Menurut pengacara Novanto, dalam satu perkara tindak pidana splitsing bisa dilakukan asalkan uraian perkara, waktu terjadinya tindak pidana dan tempat terjadinya tindak pidana harus konsisten.
"Di dalam surat dakwaan Setya Novanto yang didakwa melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus, baik locus delicti maupun tempus delicti serta uraian materinya sangat jauh berbeda sehingga seolah-olah ini bukan splitsing," kata Firman Widjaja di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/12).
Pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini juga diuraikan secara berbeda. Dalam dakwaan Irman-Sugiharto dan Andi Agustinus, nama Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung tidak muncul. Namun dalam dakwaan Novanto, dua nama tersebut disebut turut serta melakukan tindak pidana.
Selain itu, pengacara juga menuding jaksa membuat dakwaan secara seenaknya lantaran jumlah penerimaan dana yang diterima terdakwa lain berbeda.
Sekadar tahu, dalam dua persidangan sebelumnya, jaksa memang belum menguraikan secara rinci berapa keuntungan yang dinikmati Novanto dari proyek senilai Rp 5,9 triliun ini. Jumlah penerimaan baru diuraikan dalam perkara ini, yakni sebanyak US$ 7,3 juta dan jam tangan merek Richard Mille tipe RM 001 seharga US$ 135.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News