Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Anna Suci Perwitasari
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai bisa tersenyum lebar. Meski penerimaan bea masuk dan bea keluar melempem, data menunjukkan, total pemasukan bea dan cukai sepanjang Januari hingga Juli lalu mencapai Rp 86,66 triliun atau 57,5% dari target tahun ini sebesar Rp 153,15 triliun.
Ditjen Bea Cukai tertolong penerimaan dari sektor cukai yang sebanyak Rp 61,21 triliun. Penerimaan cukai terbesar berasal dari produk tembakau atau rokok yang mencapai Rp 58,75 triliun atau 95,97% dari total pemasukan cukai. Sisanya dari cukai minuman yang mengandung etil alkohol sebesar Rp 2,36 triliun dan cukai etil alkohol sebanyak Rp 0,89 triliun.
Susiwijono Moegiarso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai, menyatakan, dengan perolehan selama tujuh bulan pertama tahun ini, penerimaan cukai bakal melampaui target sebesar Rp 104,72 triliun. "Sebab biasanya produksi rokok akan melonjak menjelang akhir tahun," katanya, Selasa (13/8).
Berbeda dengan penerimaa pajak perdagangan internasional. Maklum, penerimaan bea masuk dan bea keluar sampai Juli lalu tidak mencapai target yang ditetapkan. Penerimaan bea masuk hanya Rp 17,36 triliun dari target sebesar Rp 17,97 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan bea keluar cuma Rp 8,07 triliun dari target Rp 10,27 triliun.
Tapi, "Melihat perkembangan ekonomi global, volume perdagangan, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah dan trennya, target hingga akhir tahun masih bisa tercapai," ujar Susiwijono
Tidak tercapainya penerimaan bea masuk dan bea keluar, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, lantaran saat ini pemerintah lagi menyeimbangkan nilai ekspor dan impor Indonesia untuk menjaga defisit neraca perdagangan. "Agar defisit neraca dagang tidak terus melebar," katanya.
Untuk mencapai keseimbangan ekspor dan impor, pemerintah menekan jumlah impor terutama minyak dan gas (migas). Akibat kebijakan itu, penerimaan bea masuk turun. Di sisi lain, pemerintah belum bisa berbuat banyak mendongkrak ekspor untuk mengerek bea keluar.
Terlebih, harga komoditas belum menunjukan perbaikan. "Kalau bicara neraca perdagangan, sektor nonmigas sebetulnya sudah surplus, kita hanya perlu menjaga neraca migas," imbuh Hatta.
Ya, neraca perdagangan Indonesia terus tertekan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari-Juni lalu, neraca dagang kita menorehkan defisit US$ 3,31 miliar. Itu berarti, defisit neraca perdagangan negara kita semakin lebar saja ketimbang periode Januari-Mei yang US$ 2,52 miliar. "Masih akan tertekan sampai akhir tahun nanti," kata Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News