kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peneliti: Produk tembakau alternatif minim risiko


Jumat, 08 Februari 2019 / 14:21 WIB
Peneliti: Produk tembakau alternatif minim risiko


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah hasil penelitian di luar negeri memaparkan bahwa pengembangan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, yang menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran, membuktikan bahwa teknologi memiliki peranan penting dalam membantu mengurangi potensi risiko kesehatan dari rokok. Produk tembakau alternatif pun diharapkan menjadi solusi alternatif untuk berhenti merokok secara bertahap.

“Produk tembakau alternatif yang menggunakan teknologi (pada perangkatnya) dan didukung penelitian kredibel menunjukkan hasil lebih rendah risiko kesehatan daripada rokok. Inovasi ini dapat menjadi salah satu pilihan masyarakat dalam mengatasi masalah rokok,” kata Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik Indonesia (YPKP Indonesia) dan Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Dr. drg. Amaliya, MSc., PhD, dalam siaran persnya, Jumat (6/2). 

Berdasarkan hasil riset Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2018 lalu yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products 2018”, memaparkan bahwa penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, memiliki risiko kesehatan 95% lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. 

Pada tahun yang sama, Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) juga mempublikasikan hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, yaitu produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, yang menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran. Hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok konvensional.

Amaliya menambahkan, berdasarkan kajian ilmiah dari Georgetown University Medical yang bertajuk “Potential Deaths Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarettes” dan dipublikasikan dalam Jurnal Tobacco Control, hasilnya menemukan bahwa diperkirakan sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat dapat terhindar dari kematian dini melalui penggunaan produk tembakau alternatif. 

Hal ini semakin menegaskan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok dan menjadi salah satu solusi untuk berhenti merokok secara bertahap.  

“Jika para perokok di Indonesia yang mencapai 60 juta jiwa menyadari bahwa produk tembakau alternatif ini dapat mengurangi risiko kesehatan, maka dapat dibayangkan berapa besar potensi jutaan jiwa yang bisa diselamatkan,” ujarnya. 

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US Food and Drug Administration) juga menyatakan bahwa produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik merupakan salah satu pilihan bagi perokok dewasa untuk menghentikan kebiasaan mereka secara bertahap. Hal ini merupakan bukti pemanfaatan dari potensi teknologi, dimana perokok tetap mendapatkan nikotin, namun dengan risiko kesehatan yang lebih rendah.

Saat ini, sejumlah produk tembakau alternatif sudah tersebar di pasaran. Pemerintah diharapkan tidak terlalu lama untuk mengeluarkan regulasi, sehingga mencegah produk ini digunakan anak di bawah umur. Menurut Amaliya, Indonesia dapat mengikuti jejak Inggris, Jepang, Kanada, dan Korea Selatan, yang lebih dulu menerapkan regulasi produk tembakau alternatif. 

“Kita bisa belajar dari negara-negara lain. Adanya regulasi tersebut menunjukkan bahwa negara-negara maju melihat adanya sisi positif dari produk tembakau alternatif yang berdasarkan kajian kesehatan sehingga keberadaannya perlu diperkuat dengan undang-undang,” tegas Amaliya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×