kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pendapatan per kapita Indonesia naik, bagaimana tarif bunga pinjaman langsung?


Kamis, 07 Februari 2019 / 20:43 WIB
Pendapatan per kapita Indonesia naik, bagaimana tarif bunga pinjaman langsung?


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis rata-rata pendapatan orang Indonesia per tahun atau pendapatan per kapita mencapai US$ 3.927 atau sekitar Rp 56 juta pada tahun 2018. Angka pendapatan tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya US$ 3.876 atau Rp 51,9 juta per tahun.

Naiknya pendapatan per kapita tersebut turut mengantar Indonesia naik peringkat ke kelompok negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper-middle income) menurut versi Bank Dunia. Sebelumnya, Indonesia masih berada di kategori negara dengan pendapatan per kapita menengah ke bawah (lower-middle income).

Biasanya, naiknya level pendapatan suatu negara akan turut mengubah kategori pinjaman langsung dari lembaga internasional yang dapat diterimanya. Akses jumlah pinjaman maupun tingkat bunga yang ditawarkan akan ikut terkerek.

Pada masa awal pemberian pinjaman, Indonesia tergolong negara dengan kelayakan kredit yang rendah. Lantas, pinjaman yang diterima dari bank dunia saat itu ialah melalui skema dari Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) yang tanpa bunga. Hanya negara-negara dengan rata-rata pendapatan per-capita sejumlah $1,506 atau lebih rendah yang memenuhi syarat. Bahkan dalam praktiknya, kredit IDA hanya diberikan kepada negara-negara dengan rata-rata pendapatan per kapita sejumlah $925 atau di bawahnya.

Berdasarkan riset Kontan.co.id, Indonesia sejak tahun 1970-an telah masuk dalam kelompok negara yang menerima pinjaman dari Bank Rekonstruksi dan Pengembangan Internasional (IBRD). Menurut pengelompokan Bank Dunia, Indonesia masuk dalam negara Grup B yang memiliki skema bunga pinjaman tertentu. 

Dalam mata uang dollar Amerika Serikat (AS), tingkat bunga atawa fixed spread pricing pinjaman IBRD Indonesia dibagi ke dalam enam kategori berdasarkan panjang tenor peminjaman. Tenor paling pendek ialah di bawah delapan tahun, sedangkan paling panjang ialah 20 tahun.

Skema bunga yang ditetapkan untuk pinjaman IBRD ialah Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) ditambah level yang bervariasi dalam rentang 0,65% hingga 1,60%. Tingkat bunga berlaku berbeda untuk peminjaman dalam mata uang asing lain, seperti euro, yen, dan poundsterling.

Setelah menyandang predikat negara dengan upper-middle income, Indonesia sebenarnya masih termasuk dalam negara yang menerima skema pinjaman IBRD. Sebab, Indonesia baru akan naik ke skema peminjaman Bank Dunia yang lebih tinggi saat rata-rata pendapatan per-kapitanya sebagai peminjam berhasil melampaui US$ 5,445.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adrianto pun menyatakan, naiknya pendapatan per kapita Indonesia tak memengaruhi bunga pinjaman.  "Kepercayaan investor terhadap pemerintah dalam mengelola perekonomian dan fiskal lah yang merupakan hal utama," ujar Adrianto, Kamis (7/2).

Adrianto menilai, tingginya kepercayaan investor tecermin dalam peringkat utang yang saat ini disandang Indonesia yakni investment grade. Semakin baik peringkat utang tersebut, bunga pinjaman di pasar modal pun akan semakin menurun.

Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengamini, saat ini pemerintah lebih banyak memanfaatkan pasar modal sebagai sarana memperoleh pinjaman. Misalnya, dengan menerbitkan surat utang baik dalam denominasi rupiah maupun valas yang dapat dilakukan dengan lebih leluasa oleh pemerintah.

"Bunga di pasar itu tergantung kinerja ekonomi, posisi fiskal, dan tentunya rating (peringkat utang) kita. Kalau rating bisa kita jaga, tingkat imbal hasil SUN acuan akan makin rendah dan ini juga akan menjadi acuan untuk imbal hasil obligasi korporasi maupun bunga pinjaman perbankan," kata David, Kamis (7/1).

Senada, Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga menilai pemerintah mesti fokus membenahi permasalahan struktural ekonomi domestik.
"Pada akhirnya itu akan menaikkan rating utang, sehingga biaya utang pun nantinya semakin murah," tutur Myrdal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×