Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), telah melakukan reekspor 431 kontainer limbah yang tercampur sampah dan terkontaminasi bahan beracun dan berbahaya (B3) ke-12 negara asalnya.
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai Deni Sujantoro mengatakan, proses reekspor ini hanya berlaku bagi limbah yang terkontaminasi saja.
"Untuk yang terkontaminasi B3 dan terkontaminasi sampah itu kami reekspor, kalau yang clear itu bisa langsung masuk ke Indonesia karena tidak terkontaminasi," ujar Deni saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (7/2).
Baca Juga: APSyFI sebut regulasi impor limbah non B3 sesuai dengan kepentingan industri
Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai pada periode Juni 2019 sampai 3 Februari 2020, dari 431 kontainer limbah yang direekspor, 194 di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).
Negara yang mendominasi selanjutnya adalah Jerman dengan jumlah sebanyak 71 kontainer, Inggris 70 kontainer, Belanda 26 kontainer, Australia 18 kontainer, Belgia 16 kontainer, dan Slovenia 10 kontainer.
Kemudian, diikuti oleh Selandia baru sebanyak 8 kontainer, Perancis 8 kontainer, Kanada 5 kontainer, Hongkong 3 kontainer, serta Spanyol sebanyak 2 kontainer.
Selanjutnya, Deni juga turut menanggapi perihal temuan 1.078 kontainer berisi limbah plastik di Pelabuhan Tanjung Priok.
Baca Juga: Industri baja sarankan pemerintah ikuti standar ISRI soal kriteria limbah non-B3
Menurutnya, seluruh kontainer tersebut belum memiliki dokumen impor, sehingga pihak bea cukai belum bisa memeriksa apakah limbah tersebut terkontaminasi atau tidak.
"Prosesnya itu harus diajukan dokumen impornya dulu, baru bea cukai bisa memeriksa apakah limbah tersebut terkontaminasi B3 dan tercampur sampah atau tidak. Jadi untuk saat ini limbah tersebut masih di pelabuhan," papar Deni.
Untuk tindak lanjut dari seluruh kontainer ini, Deni bilang prosesnya tergantung pada dokumen impor yang diajukan oleh pemilik limbah terkait. Apabila dokumen impornya sudah tersedia, maka pihak bea cukai akan segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan.
Baca Juga: Asosiasi plastik (INAPLAS) dukung Permendag tentang impor limbah non-B3
Selain itu, demi membendung impor limbah yang terkontaminasi di kemudian hari, pihak bea cukai nantinya akan melakukan pengawasan dan pemeriksaan di pintu-pintu pelabuhan, bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kami melakukan pengawasan di pintu-pintu masuk pelabuhan, karena potensinya pasti dia tercampur di limbah, maka kami lakukan pemeriksaan secara masif dengan menggandeng instansi lain, dalam hal ini KLHK," kata Deni.
Terkait dengan sanksi yang akan dikenakan kepada para importir yang melanggar, Deni tidak berkomentar banyak. Pasalnya, kewenangan tersebut berada pada ranah KLHK dengan mengacu pada Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Baca Juga: Gajah Tunggal (GJTL) tak terdampak beleid impor limah non-B3
Tak hanya KLHK, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga turut andil di dalam proses impor ini. Itu karena, negara yang ingin melakukan impor harus memiliki persetujuan impor yang diterbitkan oleh Kemendag. Selain itu, negara tersebut juga harus memiliki laporan surveyor (LS) yang terbit berdasarkan hasil dari pemeriksaan surveyor yang ditunjuk oleh Kemendag.
"Proses sanksi nggak panjang, kalaupun ada yang melanggar itu pasti dicabut persetujuan impornya. Kalau proses impor, itu dia harus diperiksa di negara asal oleh surveyor yang ditunjuk oleh Kemendag, kemudian terbitlah LS tadi itu," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News