Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Current account deficit (CAD) atawa defisit transaksi berjalan adalah permasalahan fundamental ekonomi yang mendera Indonesia sejak triwulan terakhir 2011. Alhasil, defisit transaksi berjalan menjadi salah satu fokus pemerintah yang ingin diturunkan ke level yang rendah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019.
Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 menargetkan defisit transaksi berjalan turun signifikan. Transaksi berjalan pada tahun 2015 ditargetkan turun defisitnya menjadi US$ 17,6 miliar. Kemudian pada tahun 2019 defisitnya turun menjadi US$ 3,2 miliar.
Alasan pemerintah optimis defisit akan turun drastis adalah perbaikan pada neraca perdagangan barang, terutama pada neraca perdagangan non migas dalam lima tahun ke depan. Surplus neraca non migas diperkirakan akan naik seiring dengan melesatnya ekspor non migas.
Pertumbuhan ekspor non migas pada tahun 2015 diprediksi tumbuh 7%, tahun 2016 naik menjadi 9%, dan pada tahun 2019 tumbuh sebesar 14%. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan ekspor non migas yaitu manufaktur akan didorong pemerintah.
Pemerintahan Jokowi memfokuskan diri pada pembangunan infrastruktur. Nah, untuk menyiasati defisit transaksi berjalan yang akan membengkak akibat impor barang modal yang melesat, Bambang menjelaskan pemerintah akan mengimbanginya dengan ekspor manufaktur.
Maka dari itu, dengan nilai tukar rupiah yang akhir-akhir ini melesat ke level Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS) adalah berkah bagi ekspor. "Itu adalah momen terbaik karena dengan level tersebut maka manufaktur kita menjadi lebih kompetitif," ujarnya akhir pekan lalu.
Rupiah dalam periode lima tahun ke depan pun masih kompetitif untuk ekspor. Dalam RPJMN, proyeksi rupiah pada tahun 2015 adalah Rp 12.000, tahun 2016 Rp 11.950, tahun 2017 Rp 11.900, tahun 2018 Rp 11.850, dan tahun 2019 Rp 11.800. Nilai rupiah pada level ini adalah nilai yang bagus untuk meningkatkan ekspor dan mengerem impor.
Untuk mendorong ekspor manufaktur, ia mengakui pemerintah tidak akan memberikan insentif baru. Pemerintah akan memperkuat insentif yang telah ada yaitu tax allowance dan tax holiday.
Misalnya, pemerintah akan mengkaji kembali sektor yang menerima fasilitas ini. Untuk sektor yang berorientasi ekspor, pemerintah dapat memberikan fasilitas pengurangan pajak yang lebih besar dibanding sektor yang berorientasi domestik.
Di sisi lain, pemerintah juga akan mendorong hilirisasi di semua aspek bahan baku, apakah itu pertambangan atau sektor padat karya. "Tapi kita ingin padat karya yang orientasinya ekspor," tandasnya.
Sekedar gambaran, pada tahun 2013 defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau naik dibanding tahun 2012 yang sebesar US$ 24,42 miliar. Pada triwulan III 2014, defisit tercatat US$ 6,84 miliar. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit hingga akhir tahun 2014 akan sebesar US$ 25 miliar atau sekitar 3% dari PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News