Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pengamat pertambangan Simon Sembiring setuju dengan argumentasi Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli yang menyatakan PT Freeport Indonesia makin seenaknya di Indonesia. Kondisi ini tak lepas dari sikap Pemerintah Indonesia yang memang selalu lemah berhadapan dengan raksasa pertambangan asal Amerika Serikat tersebut.
Simon mengatakan masalah pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dengan membuang limbah merkuri ke sungai merupakan persoalan lama. Persoalan ini sudah dibahas serius oleh Kementerian Lingkungan Hidup semasa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Permasalahan ini berlanjut sampai pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.
"Ini sudah saya sampaikan langsung ke Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Dia bilang akan lakukan penyelidikan, tidak tahu sampai sekarang bagaimana tindak lanjutnya," kata Simon saat dihubungi KONTAN, Minggu (11/10).
Lebih parah lagi, pencemaran limbah merkuri yang dibuang begitu saja oleh Freeport juga sampai mencemari laut. Padahal Freeport tidak memiliki izin untuk membuang tailing (limbah pertambangan) sampai ke laut. "Jika saja Freeport serius melakukan recovery limbahnya sebelum, perusakan lingkungan ini tidak terjadi," ujar Simon.
Simon mencurigai memang ada main mata antara pihak PT Freeport Indonesia dengan pihak pejabat Pemerintah Indonesia. Sebab pelanggaran massif yang berlangsung bertahun-tahun ini bisa terus berlangsung mulus. "Saya tidak tahu apakah ada indikasi suap atau tidak. Tetapi memang pemerintah kita selalu lemah saat berhadapan dengan Freeport," pungkas Simon.
Sebagaimana diketahui, dalam acara Dies Natalis Universitas Jayabaya, Jakarta, Kamis (9/10), Menko Maritim Rizal Ramli mengkritik kerasFreeport yang sudah bercokol di Indonesia sejak 1967. Freeport dinilai sudah seenaknya sendiri membuang limbah tambang ke sungai di sekitar area penambangan.
Limbah yang diaduk dengan merkuri itu dibuang begitu saja di sungai sehingga mengakibatkan banyak ikan yang mati serta penduduk setempat menderita. Kalau mereka ikut good governance, enggak ada susahnya itu memproses limbah itu," kata Rizal.
Rizal menjelaskan Freeport paham bahwa hukum di Indonesia lemah sehingga terus-terusan melakukan pencemaran lingkungan itu. Padahal, di negara asalnya, kata Amerika Serikat, perusahaan yang melakukan pencemaran alam dikenai denda yang sangat besar hingga puluhan miliar dollar AS.
Dari sisi pembayaran royalti, Freeport hanya bayar 1 persen kepada negara. Masyarakat Papua hanya dapat sedikit manfaat, sementara alam di sana rusak. Penyebab perusahaan asing itu berani berlaku seenaknya lantaran banyak pejabat Indonesia yang mau disogok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News