Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk mengejar kurangnya pekerja konstruksi yang tersertifikasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menerbitkan regulasi yang mengatur remunerasi minimal pekerja konstruksi.
Niatnya sebagai insentif bagi pekerja konstruksi, dan diharapkan dengan peningkatan kompetensi, pembangunan infrastruktur Indonesia tak hanya bisa dipercepat melainkan juga menjaga kualitasnya.
"Sekarang masih dibicarakan di internal Bina Konstruksi, mudah-mudahan cepat selesainya," kata Syarif Burhanuddin, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12) di Tangerang.
Meski masih dalam proses, Syarif mengatakan besaran remunerasinya kelak akan berada di atas Upah Minimum Regional (UMR), lantaran komponennya akan lebih besar dari UMR.
"Yang pasti nanti akan di atas UMR, ada hitungan asuransinya juga. "sambung Syarif.
Remunerasi pekerja konstruksi ini nantinya hanya akan mengatur tenaga kerja terampil. Sebab sebelumnya, melalui Kepmen 897/2017 remunerasi ahli konstruksi telah terlebih dahulu diatur.
Dalam beleid tersebut, ahli muda lulusan sarjana dengan pengalaman satu tahun kerja saja bisa kantongi minimal Rp 18 juta perbulan. Sementara untuk ahli madya dengan ketentuan serupa bisa dapat Rp 21 juta perbulan. Dan Rp 25,5 juta untuk Ahli Utama dengan ketentuan serupa.
Dengan tingkat pendidikan dan pengalaman lebih para konsultan konstruksi bahkan bisa raup pendapatan jauh lebih besar. Ahli utama bergelar doktor dengan pengalaman 23 tahun misalnya, minimal akan raih Rp 77 juta perbulan.
"Kalau yang remunerasi berikutnya ini untuk pekerja kelas satu hingga tiga," kata Dudi Suryo Bintoro, Direktur Kerjasama dan Pemberdayaan, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR dalam kesempatan yang sama.
Ia menjelaskan pekerja konstruksi kelas I misalnya minimal miliki latar pendidikan Diploma III dengan pengalaman kerja minimal satu tahun, Pekerja kelas II dengan minimal pengalaman kerja satu tahun dan latar pendidikan minimal SMK. Sedangkan Pekerja kelas III dengan latar pendidikan di bawah SMK.
Dudi tambahkan, proses remunerasi pekerja konstruksi butuh waktu lebih panjang dibanding untuk tenaga ahlinya. Sebab butuh kajian dan peran banyak pihak.
"Kalau untuk yang Ahli Konstruksi agak lebih mudah karena kita pakai acuan dari Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO)," sambungnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News