Reporter: Yudho Winarto | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak pemerintah agar cakupan moratorium pada hutan alam, bukan pada hutan primer dan sekunder sebagaimana yang tercantum dalam draft inpres penundaan pemberian ijin baru konversi hutan alam dan lahan gambut yang terbaru.
Moratorium adalah penghentian aktivitas penebangan dan konversi hutan dalam jangka waktu tertentu untuk mengambil jarak dari masalah supaya memperoleh jalan keluar yang bersifat jangka panjang
"Dalam draft terbaru cakupan moratorium hanya pada hutan primer dan sekunder. Kami tidak menemukan pembagian itu secara hukum sebagaimana mengacu UU No 41 Tahun 1999," kata Muhammad Teguh Surya, kepala hubungan international Walhi, Jumat (14/1).
Mengacu data departemen kehutanan 2002 luas lahan kawasan hutan Indonesia adalah 133,229 juta hektar. Itu terbagi atas hutan lindung sebesar 30,060 juta ha, konversi sebesar 19,371 juta ha, dan produksi 83,798. Dengan demikian secara hukum kawasan hutan Indonesia lebih banyak kategori kawasan hutan sekunder daripada primer.
Sebagian besar hutan primer ada pada kawasan lindung dan konversi. Dengan demikian moratorium hanya berlaku pada hutan primer. Jaringan masyarakat sipil menilai sama sekali tidak ada perubahan signifikan terhadapa pengelolaan hutan di Indonesia. "Artinya moratorium hutan primer hanya merupakan business as usual," katanya.
Disamping itu terkait Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung yang mengatur soal batasan kedalaman gambut 3 meter. Jaringan masyarakat sipil menegaskan dasar penghitungan 3 meter itu tidak valid lagi. "Sudah sepatutnya Indonesia melakukan rehabilitasi dan penyelamatan lahan gambut yang tersisa," jelasnya.
Terkait hal ini, Muhammad meminta agar pemerintah membuka diri atas masukan. "Kita sudah sampaikan draft milik kami ke Pak Kuntoro Mangkusubroto selaku Ketua Satgas pembentukan REDD+," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News