kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah Guyur Banyak Bansos, Ini Kata INDEF


Rabu, 06 April 2022 / 20:15 WIB
Pemerintah Guyur Banyak Bansos, Ini Kata INDEF
ILUSTRASI. Warga menunjukkan uang tunai saat penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) di Bandar Lampung, Lampung, Rabu


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menyikapi adanya kenaikan harga energi dan pangan ditingkat global yang berimbas kepada masyarakat sebagai konsumen, pemerintah mengeluarkan perlindungan sosial tambahan berupa bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng dan perpanjangan bantuan subsidi upah (BSU).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai BLT minyak goreng, BSU hingga perpanjangan BLT Dana Desa akan mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Hanya saja, Rusli menilai bahwa BLT minyak goreng belum berdampak pada masyarakat rentan miskin.

Padahal kelompok masyarakat ini akan langsung mengalami turun kelas saat terjadi gejolak kenaikan harga barang-barang baik energi ataupun pangan.

Baca Juga: ​Ada BSU Rp 1 Juta, Ini Syarat Bagi Pekerja Gaji di Bawah Rp 3,5 Juta

"Orang miskin ada bantalan BNPT, PKH, ditambah BLT minyak goreng. Tapi rentan miskin bagaimana? ibarat orang yang nyemplung sungai itu orang miskin itu sudah ada pelampungnya, tapi rentang miskin belum," kata Rusli kepada Kontan.co.id, Rabu (6/4).

Maka ada baiknya untuk BLT minyak goreng dilakukan subsidi di hulu agar harga di tingkat konsumen dapat dijangkau hingga bisa dinikmati oleh masyarakat miskin dan rentan miskin.

Stabilisasi harga menjadi penting untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di tengah kondisi saat ini.

Kemudian dengan BSU yang kali ini diberikan kepada pekerja yang memiliki upah dibawah Rp 3,5 juta juga belum bisa mencakup para pekerja informal. Sedangkan yang mampu mencakup kelompok masyarakat rentan miskin ialah BLT dana desa.

"Jadi pemerintah beri bantuan keroyokan ini, ada BNPT ada BLT minyak goreng, BSU BLT dana desa. Cuma sekarang satu tantangannya agar bagaimana pelaksanaannya tidak tumpang tindih. Artinya jangan ada penerima yang dobel atau tumpang tindih," kata Rusli.

Senada dengan Rusli, Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) juga menyebut meski bansos tersebut mampu mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Hanya saja cakupannya belum sampai pada masyarakat rentan miskin.

Selain itu nominal bantuan BLT minyak goreng juga dinilai sangat kecil atau tidak mencukupi bagi kebutuhan masyarakat akan komoditas ini. Hal tersebut lantaran adanya disparitas harga yang tinggi minyak goreng di wilayah Jawa dan luar Jawa.

"Rp 300.000 kalau dibelikan migor di Jawa dan luar Jawa kemampuan beli beda karena disparitas harga tinggi jadi nggak cukupi kebutuhan, ini baru migor. Untuk BSU ini bagus dilanjutkan tapi catatan memang pekerja yang informal belum terdaftar jadi penerimaan BSU apalagi banyak yang belum miliki BPJS Ketenagakerjaan. Nah mereka gimana?," kata Bhima.

Sama seperti BLT minyak goreng, besaran subsidi upah juga dianggap kecil dari asumsi kebutuhan satu keluarga pekerja.

Baca Juga: Percepat Pemulihan Ekonomi, Pemerintah Kembali Kucurkan Bantuan Subsidi Upah

"Kita asumsikan ada 1 orang tenaga kerja menanggung tiga orang anggota keluarga. Satu keluarga ada orang 4 orang itu dikali batas garis kemiskinan sekitar Rp 460.000 itu idealnya BSU Rp 1,9 jutaan," jelasnya.

Namun secara umum baik BLT minyak goreng dan BSU serta BLT dana desa yang diperpanjang ini akan mendorong konsumsi masyarakat meskipun belum akan optimal karna cakupannya belum meluas pada kelompok rentan miskin dan pekerja informal.

Agar subsidi bisa dimanfaatkan dan dinikmati oleh semua masyarakat maka baiknya pemerintah perlu melakukan stabilisasi harga baik energi ataupun pangan.

Dengan adanya pendapatan negara dari ekspor yang meningkat karena naiknya komoditas di pasar global, Bhima menyarankan agar pajak perkebunan dan pertambangan dapat direalokasi untuk stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri.

"Misalnya dengan menambah subsidi energi sampai 2022 jadi harapannya elpiji 3 kilo Pertalite itu bisa dijaga harganya tidak naik. Tapi subsidi ini bisa dorong konsumsi cuma belum optimal karena coverage belum maksimal ke rentan miskin. Jadi 2020-2021 isunya upah turun tapi sekarang itu harga barang naik. Nah makanya stabilisasi harga itu penting," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×