kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah diminta tetap tarik pajak penghasilan perusahaan digital asing


Kamis, 15 Oktober 2020 / 20:52 WIB
Pemerintah diminta tetap tarik pajak penghasilan perusahaan digital asing
ILUSTRASI. Walau OECD belum ada kesepakatan, Pemerintah Indonesia diminta tetap tarik pajak penghasilan perusahaan digital asing


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun dan pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mendorong pemerintah untuk menjalankan aksi unilateral atas pengenaan pajak penghasilan perusahaan digital asing.

Dorongan tersebut didasari atas laporan the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang memberikan kabar tak sedap. Pasalnya, kosensus pajak digital yang digadang sejak tahun 2019 lalu gagal mencapai mufakat.

OECD dalam publikasinya terkait Inclusive Framework OECD/G20 tentang Base Erosion Profit Shifting menyampaikan, 137 negara telah melakukan pertemuan pada 8-9 Oktober 2020 menyepakati konsensus pajak digital diundur hingga pertengahan tahun depan.

Misbakhun berharap, pemerintah harus menarik pajak penghasilan perusahaan digital asing. Mengingat, Indonesia merupakan market yang besar, dan sudah sejak lama perusahaan digital asing mengambil manfaat ekonomi atas konsumsi digital masyarakat Indonesia.

Baca Juga: OECD: Seperti Ini Kerugian Dunia Jika Gagal Menyepakati Aturan Pajak Digital

“Jangan takut dengan Amerika Serikat (AS), dalam situasi pandemi seperti ini justru kita punya alasan menarik pajak penghasilan perusahaan digital karena untuk penerimaan. Kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi?,” kata Misbakhun kepada Kontan.co,id, beberapa waktu lalu.

Senada, Bawono menyayangkan  adanya keterlambatan dan kesulitan dalam mencapai konsensus pajak digital tersebut. Namun, menurutnya, keputusan itu bukan hal yang mengagetkan. Bahkan, target pencapaian konsensus di 2021 pun juga bukan sesuatu yang tanpa tantangan.

Dari sinyal sulitnya konsensus OECD itu juga telah mendorong aksi unilateral di berbagai negara, khususnya negara-negara Uni Eropa. Di saat yang bersamaan,  bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah mengajukan suatu solusi pemajakan digital melalui kehadiran pasal baru yaitu Pasal 12B Model P3B.

Artinya, menurut Bawono, dengan adanya momentum gagalnya tercapai konsensus pada tahun ini diduga akan menciptakan justifikasi bahwa sistem pemajakan digital di kemudian hari akan semakin divergen atau mengarah ke titik yang berbeda.

Nah sebetulnya di Indonesia, sudah ada langkah antisipatif melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 khususnya melalui skema pajak transaksi elektronik (PTE). Menurutnya, PTE dalam  memang bukan skema terbaik dan juga memiliki kelemahan, tapi bukan berarti sesuatu yang tidak rasional.

Kata Bawono, kebutuhan penerimaan pajak membutuhkan kepastian mengenai prospek pajak perusahaan digital lintas yurisdiksi bagi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara perlu ingat juga mengenai model bisnis digital yang dinamis.

“Dengan demikian, kecepatan dalam mengambil sikap adalah hal yang penting.  Adanya PTE juga bisa menjadi bargaining power bagi Indonesia untuk memaksa kesepakatan di tingkat global,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Kamis (15/10).

Selanjutnya: Pengamat: Potensi pajak digital di Indonesia masih bisa digali

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×