kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,72   -19,77   -2.14%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah cari opsi kebijakan hunian berimbang


Senin, 11 Juli 2016 / 17:45 WIB
Pemerintah cari opsi kebijakan hunian berimbang


Reporter: Agus Triyono | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Berbagai opsi tengah dipertimbangkan oleh pemerintah terkait kewajiban penerapan konsep hunian berimbang bagi para pengembang dalam membangun kawasan perumahan. 

Salah satu opsi adalah pergantian bentuk kontribusi pengembang dari penyediaan rumah sederhana menjadi voucher.

Maurin Sitorus, Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan, perubahan bentuk kontribusi ini dipikirkan terkait keluhan kesulitan dari para pengembang untuk melaksanakan kewajiban penerapan konsep hunian berimbang dalam pembangunan kawasan perumahan yang mereka lakukan. Khususnya, pengembang di Jakarta.

"Jadi tidak usah rumah, beri saja voucher. Setiap rumah mewah yang dibangun, nanti rumah sederhananya berapa yang harus dibangun, nanti beri voucher saja," katanya pekan lalu.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2016 yang baru saja diterbitkankan pemerintah pada 27 Mei 2016 lalu, mewajibkan pengembang untuk mewujudkan konsep perumahan dengan hunian berimbang. 

Dalam Pasal 21 ayat 2 PP tersebut, pengusaha perumahan berskala besar wajib melaksanakan pembangunan hunian berimbang di dalam satu hamparan.

Bila pengembang tidak menerapkan konsep hunian berimbang dalam satu hamparan, mereka harus membangun rumah umum pengganti di dalam satu kabupaten/kota tempat membangun perumahan. 

Untuk DKI Jakarta, pengembang harus membangun di wilayah dalam satu provinsi. Bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, pemerintah akan memberi sanksi.

Sanksi bagi pengembang yang tidak mau menerapkan konsep hunian berimbang dalam satu hamparan dengan pembangunan yang mereka kerjakan, mulai dari teguran tertulis sampai denda administrasi antara Rp 1 miliar sampai Rp 10 miliar. 

Sementara itu, bagi pengembang yang tidak membangun hunian berimbang di satu hamparan dan "ngeyel" tidak mau bangun hunian berimbang di satu kabupaten atau kota tempat mereka membangun, akan dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembekuan kegiatan pembangunan, pembekuan dan pencabutan izin mendirikan bangunan dan pembongkaran bangunan.

Pengembang keberatan

Namun, kalangan pengembang properti yang tergabung dalam Realestate Indonesia (REI) menyatakan keberatannya dengan kewajiban yang diatur pemerintah. Alasannya, kewajiban tersebut sulit dilaksanakan.

Eddy Husy, Ketua DPP REI mengatakan, salah satu poin yang memberatkan adalah kewajiban pengembang bila tidak membangun rumah umum di satu hamparan dengan pembangunan perumahan yang dilakukan. Kesulitan pelaksanaan salah satunya disebabkan oleh pembatasan area pembangunan hunian berimbang yang ditetapkan pemerintah.

"Ini terkait harga, di kabupaten tertentu ada harga (lahan) yang sangat tinggi, susah mencapai harga yang dipatok PUPR. Di Jakarta susah juga," katanya.

Atas masalah itulah, kata Eddy, REI akan bernegoisasi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 

Negoisasi akan dilakukan dalam penyusunan peraturan menteri PUPR sebagai aturan pelaksana PP tersebut.

Salah satu negosiasi yang akan dilakukan terhadap konsep hunian berimbang adalah didasarkan pada harga, bukan luasan lahan. 

"Kalau luasan lahan, pengembang harus bangun luasan sekian dan harus bangun dengan luas tertentu untuk masyarakat bawah dengan harga sesuai pasar. Contohnya, masyarakat berpendapatan rendah mau membeli rumah dengan luasan lebih kecil dan harga terjangkau. Kalau yang voucher belum kami dengar rencana itu," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×