Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk membeli kembali saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) masih terhambat. Penyebabnya, karena belum adanya kesepakatan harga antara pihak Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium (NAA).
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, Jepang menginginkan harga pembelian Inalum adalah hasil kesepakatan setelah revaluasi harga buku pada 1998. Sementara, Indonesia berpegang pada harga sebelum revaluasi pada 1998.
"Saat 1998 dulu tidak disertai setoran, karena hanya meng-update nilai supaya bisa jalan sehat, karena ketika itu krisis. Kita sedang mau menegosiasikan supaya seperti nilai kita (keinginan Indonesia)," kata Hidayat, selepas rapat koordinasi tentang Inalum di kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Selasa malam (16/4).
Hidayat menjelaskan, pemerintah memang sedang ancang-ancang untuk mengambil alih 58,9 persen saham Inalum dari kepemilikan NAA. Pemerintah pun mengaku sudah menyiapkan dana hingga Rp7 triliun. Namun, dengan masalah yang ada, Hidayat mengaku ada selisih sekitar US$ 140 juta dollar AS (sekitar Rp 1,4 triliun) untuk mengambil alih Inalum dari tangan Jepang. Jepang menginginkan harga lebih mahal dari setelah kesepakatan di tahun 1998.
"Dana Rp 7 triliun masih cukup, kita masih tetap minta APBN Rp 7 triliun," tambahnya.
Meski masih terhambat soal urusan harga, Hidayat yakin bahwa proses ini akan berjalan normal dan optimistis bisa rampung sebelum 31 Oktober 2013. Bahkan, meski ada investor asing (National Aluminium Company atau Nalco dari India) yang akan membeli saham Inalum, Hidayat yakin bahwa Indonesia bisa mengambil alih 100% saham Inalum. Sebab, dengan mengambil alih Inalum maka ke depannya tidak perlu mengimpor alumina dari luar negeri.
Selama ini, kata dia, Indonesia mengekspor bauksit dan mengimpor alumina. Dengan dimilikinya saham Inalum oleh Pemerintah Indonesia, maka ekspor bauksit tidak lagi dilakukan. "Ini enggak akan terjadi," ujarnya.
Sementara itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan akan mengikuti saran bahwa Inalum nanti akan menjadi BUMN tersendiri. "Saat ini hitung-hitungannya sedang diselesaikan, memakai harganya tim perunding, saya ikut saja," kata Dahlan.
Inalum diharapkan bisa menjadi anak usaha BUMN ke-143. (Didik Purwanto/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News