Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) membuat pengusaha dalam negeri tertekan. Selain membuat harga barang impor melonjak, pelemahan rupiah juga membuat pengusaha mengalami rugi kurs.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, sejak lima tahun terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) melemah sangat dalam. Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah Rp 13.320 per dollar AS pada 20 Juli 2017. Nilai itu melemah 46,48% sejak tutup tahun 2011 yang saat itu bertengger di level Rp 9.068 per dollar AS.
Dalam periode tersebut kurs rupiah terhadap dollar AS melemah tiap tahun, kecuali tahun 2016 dan 2017. Pelemahan terdalam terjadi pada tahun 2013, saat anjloknya harga komoditas.
Selain pelemahan rupiah terhadap dollar AS, pengusaha dalam negeri juga harus berhadapan dengan pelemahan daya beli masyarakat. Hal ini tergambar dari total inflasi nasional sebesar 29,79%. Jumlah itu berasal dari gabungan inflasi tahunan selama 2012-2016 dan inflasi year to date hingga Juni 2017. Sampai Mei 2017, inflasi secara year to date mencapai 2,38%. Inflasi paling tinggi terjadi pada tahun 2013-2014. (lihat tabel).
Bahan baku industri manufaktur dalam negeri yang masih banyak tergantung dari impor membuat tekanan makin besar. Dengan kondisi rupiah yang melemah melebihi inflasi, bisa dikatakan industri tidak bisa menaikkan harga jual yang setara dengan beban kenaikan impor bahan baku.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang mengatakan, pergerakan rupiah terhadap dollar AS menjadi bagian risiko yang harus ditanggung pengusaha. Bagi pengusaha tepung terigu, pelemahan rupiah jelas merugikan, karena semua gandum harus diimpor.
Namun Chief Executive Officer of PT Bogasari Flour Mills dan Direktur PT Indofood Sukses Makmur ini menegaskan, pelemahan rupiah terhadap dollar AS perlu dilihat setiap tahunnya. Terutama, untuk melihat kapan terjadinya pelemahan rupiah yang cukup dalam. Tak hanya itu, perlu juga untuk melihat faktor global yang mempengaruhi.
Meski demikian, ia berpendapat bahwa rupiah pada saat ini cukup stabil. Kondisi ini sangat mendukung iklim bisnis. "Selama dua tahun terakhir cukup baik stabilitasnya," kata Franciscus kepada KONTAN, Kamis (20/7)
Masih aman
Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra berpendapat, pelemahan rupiah berdampak terhadap industri dalam negeri, tetapi tidak terlalu besar. Sebab, menurutnya, barang baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri juga tak 100% berasal dari luar negeri.
Aldian menilai kondisi rupiah saat ini masih cukup aman bagi pelaku industri. Hal itu dilihat dari riil efective exchange rate rupiah yang saat ini masih di bawah level 100. "Saya pikir fair kalau pakai riil efective exchange rate," kata Aldian.
Sedangkan menurut Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, sektor industri dalam negeri yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri terdampak dari kondisi tersebut. Sebab selain karena rupiah yang melemah, kondisi ekonomi juga masih melambat.
Menurutnya industri dalam negeri yang paling terkena dampak dari kondisi tersebut adalah sektor pertambangan dan komoditas lain yang harganya belum membaik. "Sebab, harga komoditas turun, ekspor turun, rupiah melemah, impor turun, pertumbuhan ekonomi melambat, dan impor semakin melambat," kata dia.
Tren pelemahan rupiah dan inflasi
Tahun | Pelemahan rupiah (%) | inflasi (%) |
2017 | -0,86* | 2,38** |
2016 | -2,6 | 3,02 |
2015 | 10,89 | 3,35 |
2014 | 2,06 | 8,36 |
2013 | 26,05 | 8,38 |
2012 | 6,64 | 4,3 |
Total | 48,89 | 29,79 |
*data year to date hingga Juli 2017
**data year to date hingga Mei 2017
Sumber: BI dan LPS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News