Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah sejak Juni 2013 lalu. Meski demikian, pelemahan tersebut tak sebanding dengan inflasi yang terjadi. Artinya, pelemahan itu lebih besar dari inflasi pada periode yang sama.
Ditarik sejak awal 2012 hingga sekarang, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah sebesar 31%. Sementara di periode yang sama, total inflasi nasional sebesar 27%.
Padahal, sektor industri di Tanah Air masih mengandalkan impor untuk pemenuhan bahan baku. Dengan kondisi itu, maka industri tidak bisa menaikkan harga jual yang setara dengan beban kenaikan impor bahan baku.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang mengatakan, risiko pergerakan rupiah terhadap dollar AS menjadi bagian dari pengusaha.
Namun menurutnya, pelemahan rupiah terhadap dollar AS perlu dilihat setiap tahun, khususnya untuk melihat kapan terjadinya pelemahan rupiah yang cukup dalam. Tak hanya itu, perlu juga untuk melihat faktor global yang mempengaruhi.
Meski demikian, Franky berpendapat bahwa kurs rupiah saat ini cukup stabil. "Selama dua tahun terakhir cukup baik stabilitasnya," kata dia kepada KONTAN, Kamis (20/7).
Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra berpendapat, hal itu berdampak terhadap industri, tetapi tidak terlalu besar. Sebab, barang baku yang dibutuhkan oleh industri juga tak 100% berasal dari luar negeri.
Aldian menilai, kondisi rupiah saat ini masih cukup aman bagi pelaku industri. Hal itu dilihat dari real effective exchange rate rupiah yang masih di bawah level 100. "Saya pikir fair kalau pakai real efective exchange rate. Relatif fair, yang penting kan stabilnya," kata Aldian.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, sektor industri yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri terdampak kondisi ini. Selain karena rupiah yang melemah, kondisi ekonomi juga masih melambat.
Meski demikian, ia melihat industri yang terkena dampak dari kondisi tersebut adalah sektor pertambangan dan komoditas lain yang harganya belum membaik. "Sebab, harga komditas turun, ekspor turun, rupiah melemah, impor turun, pertumbuhan ekonomi melambat, dan impor semakin melambat," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News