kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pariwisata sebagai sumber devisa terabaikan


Rabu, 13 November 2013 / 10:43 WIB
Pariwisata sebagai sumber devisa terabaikan
ILUSTRASI. Stres Karena Lelah Bekerja


Reporter: Umar Idris, Barratut Taqiyyah, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Di penghujung tahun seperti sekarang, Indonesia terus kebanjiran turis dari mancanegara. Lihat saja, turis asing asing terus berdatangan ke Indonesia. Jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Dari 7 juta orang pada 2010, menjadi 7,6 juta kunjungan pada 2011, dan tahun lalu mencapai 8 juta kunjungan.

Dalam pengumuman terbaru Biro Pusat Statistik (BPS), pekan lalu, sampai September 2013 ini jumlah kunjungan turis asing ke Indonesia mencapai 6,41 juta kunjungan. Tumbuh 8,80% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 5,90 juta kunjungan. Sampai tahun depan, jumlah mereka akan terus bertambah.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan, krisis ekonomi di dunia tidak terlalu mempengaruhi orang untuk melakukan wisata ke luar negeri. “Turis manca negara akan terus mencari tempat baru sebagai tujuan wisata, termasuk ke Indonesia,” tutur Sasmito kepada KONTAN, pekan lalu.

Tak aneh bila muncul harapan pariwisata bisa menjadi pendongkrak ekonomi di masa mendatang. Jadi, Indonesia tidak cuma mengandalkan sumber daya alam, seperti minyak dan gas (migas), kelapa sawit ataupun batubara untuk mengisi pundi-pundi devisanya.

Hanya saja, saat ini pemerintah dianggap belum serius menggarap pariwisata. Devisa yang masuk, menurut Sasmito, tidak mencapai setengah dari total potensi pasar.

Andai, pemerintah dapat merancang strategi yang jitu untuk menggarap potensi pariwisata, jumlah wisatawan yang datang ke sini bisa dua kali lebih banyak dari saat ini. Begitu juga dengan devisa yang mengalir: bisa mencapai dua kali dari nilai devisa di tahun 2012 yang sebesar US$ 9 miliar, atau menjadi US$ 18 miliar dollar.

Sumbangan pendapatan dari pariwisata nyaris tak berubah. Sejak 2007 hingga 2012, masih di posisi lima, setelah migas, batubara, minyak kelapa sawit dan karet olahan. Hanya di 2009, pariwisata naik satu peringkat ke posisi empat dengan nilai devisa yang dihasilkan sebesar US$ 6,3 miliar. “Nilai devisa ini tidak sampai setengah dari yang seharusnya kita terima jika melihat potensi pariwisata yang ada,” tutur Sasmito.

Dari data BPS, pariwisata Indonesia saat ini baru menarik para wisatawan dari negara tetangga saja, seperti Singapura, Malaysia dan Australia. Meskipun begitu, ada perkembangan positif pada tahun ini, karena turis dari China dan Jepang mulai datang lebih banyak dari tahun lalu. Kunjungan wisatawan China Agustus tahun lalu masih sekitar 52.000 orang, namun pada Agustus tahun ini mencapai 70.000 orang.

Hasil riset Economist Intelligence Unit (EIU) pada 15 Agustus 2013 lalu menjadi peringatan bagi pemerintah. EIU adalah bagian dari The Economist Group, penerbit Majalah Economist. Dalam riset ini, terungkap bahwa kendati makin banyak turis yang datang ke Indonesia, tetapi waktu tinggal mereka di Indonesia saat ini semakin singkat, dibandingkan 10 tahun yang lalu.

Periode menginap turis asing di Indonesia sepanjang 2012 rata-rata 7,7 hari. Bandingkan dengan rata-rata waktu menginap turis asing di 2002 yang mendekati 10 hari. Dalam riset EIU, diketahui turis dari China hanya menghabiskan waktu 6 hari dan Singapura hanya 4,4 hari di Indonesia. Sedangkan turis dari Eropa menghabiskan sekitar 14 hari dan turis Australia menghabiskan 10 hari.

Catatan EIU, turis dari China menghabiskan uang lebih sedikit dibanding rata-rata turis mancanegara secara keseluruhan, yakni hanya US$ 906. Singapura dan Malaysia malah lebih sedikit lagi. Berbeda dengan turis dari India, Australia dan Rusia yang justru mengalami peningkatan pembelanjaan. Saat ini masing-masing membelanjakan uang di Indonesia sebesar US$ 1.135 (India), US$ 1.620 (Australia) serta US$ 2.000 (Rusia) untuk per orang turis.

Nilai devisa juga terus meningkat. Pada 2012 tercatat, nilainya mencapai US$ 9,1 miliar atau naik 6,6% dibanding 2011. Namun porsi pendapatan dari sektor pariwisata terhadap GDP pada 2012 adalah 1%, menurun dibandingkan tahun 2002 yang sebesar 1,7%.

Kebijakan visa

Padahal kalau bicara tentang pariwisata Indonesia, apa sih yang tidak dimiliki Indonesia? Hampir semua jenis pariwisata ada di negara kita. Kekayaan alam Indonesia menyebabkan Indonesia mendapat karunia alam yang sangat istimewa. Hambatan utamanya, menurut EIU, ialah infrastruktur pariwisata yang belum merata.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyadari masalah itu. “Selain infrastruktur, kualitas produk wisata kita belum berkembang sesuai yang diinginkan pasar. Lebih banyak menjual objek wisata di Jawa dan Bali,” tutur Marie Elka Pangestu, beberapa waktu lalu ke KONTAN.

Masalah lain boleh jadi kebijakan pemerintah yang salah. Seorang turis asal Swiss, Clemens Scherrer, mempertanyakan kebijakan yang cukup mengganggunya. Pertama tentang kebijakan pembuatan visa. Saat ini turis asing harus membayar US$ 25 per orang untuk kunjungan selama 30 hari.

Jika mau memperpanjang waktu kunjungannya, pengurusan visa dinilai kebanyakan turis sangat mengganggu (annoying). Selain membutuhkan waktu lama, mereka terkena biaya yang resmi dan tak resmi. “Sedangkan di Malaysia, saya tidak perlu membayar visa. Waktu kunjungannya 90 hari,” terang Clemens melalui surat elektroniknya.

Menurut Clemens, sampai saat ini tidak banyak orang Eropa tahu tentang pariwisata di Indonesia. Padahal, potensi pariwisata di sini sangat disukai oleh orang-orang Eropa seperti Clemens. “Saya suka hampir semua tempat di Indonesia, sangat berwarna dan beragam. Pantainya indah, hutan, gunung, dan budaya masyarakatnya beragam,” tutur Clemens.

Pendapat Clemens pantas jadi perhatian pemerintah. Data United Nations World Tourism Organizations (UNWTO), dari 1 miliar kunjungan turis di dunia pada 2012, sekitar 535 juta orang berasal dari Eropa. Turis terbesar di Eropa berasal dari Jerman. Setelah Eropa, gelombang uris terbesar kedua berasal dari Asia Pasifik. Eropa merupakan pasar subur yang perlu digarap lebih kreatif.

 
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 7 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×