CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

Pajak sudah surati Google soal hasil pemeriksaan


Senin, 20 Februari 2017 / 19:11 WIB
Pajak sudah surati Google soal hasil pemeriksaan


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengaku telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) atas Google Inc.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, SPHP ini diterbitkan setelah tahap pemeriksaan khusus.

“Jadi, (SPHP adalah) kalau kalian saya kasih surat bahwa saya nemukan koreksi 10. Terus kamu jawab oh nggak, cuma 7,” kata Ken, menjelaskan, saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (20/2).

Namun lebih detil soal hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihaknya, Ken enggan mengungkapkan kepada publik. Pasalnya, hasil pemeriksaaan selayaknya tidak diberitahukan kepada khalayak.

"Google sudah diberikan SPHP. Konsekuensinya, harus dijawab Wajib Pajak, benar atau tidak temuan pemeriksa," katanya.

Dia menambahkan, Google Asia Pacific, Pte. Ltd jelas memiliki kegiatan usaha di Indonesia karena telah menempatkan sejumlah dedicated cached server di beberapa lokasi di dalam negeri.

Menurut laporan KONTAN sebelumnya, ada 140 dedicated cached server milik Google yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini dianggap oleh otoritas pajak sebagai permanent establishment atau Badan Usaha Tetap (BUT) sehingga bisa menjadikan Google sebagai subjek pajak.

Dedicated cached server itu BUT dong, Itu (bisa dikenakan) PPh,” ujarnya.

Dari beberapa subjek PPh, kegiatan-kegiatan yang dimaksud BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan,

Termasuk juga proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

Kemudian, komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet juga merupakaan BUT.

“Alat, komputer, ada di sini, UU (PPh) kita justru yang paling benar, yang sudah dimiliki oleh DJP,” tegasnya.

Ken menyatakan, dalam menentukan dedicated cache server tersebut sebagai BUT, DJP tidak mengadopsi ketentuan internasional soal server sebagai sebuah BUT. Menurut dia, selama ini pihaknya tidak memandang seberapa penting fungsi dari dedicated cache server tersebut dalam kegiatan bisnis Google di Indonesia

“Itu kalau menurut OECD. Indonesia bukan anggota OECD. Ingat ya. Jadi, saya (Dirjen Pajak) tidak tunduk dengan undang-undang OECD,” katanya.

Harus tegas

Pengamat telekomunikasi dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, dedicated network server atau server ini didedikasikan khusus, bukan bersifat collocated atau digunakan bersama. Server ini menurutnya menyimpan halaman web atau konten internet secara lokal.

“Ya kalau aturannya, kita sesungguhnya ada di PP No.82/2012 mengenai kewajiban menempatan data center dan data recovery center di Indonesia. Kalau pemerintah tegas, harusnya Google kena aturan ini,” ujarnya.

Sementara soal SPHP yang diterbitkan usai pemeriksaan khusus, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemeriksaan khusus ini berbeda dengan proses bukper, tetapi bisa berhubungan

“Kalau hasilnya ada indikasi tindak pidana, bisa dilanjutkan ke pemeriksaan bukti permulaan,” katanya kepada KONTAN.

Adapun menurutnya, sejauh ini di OECD pun kejelasan status DCS seperti yang dimiliki oleh Google belum diatur sebagai permanent establishment.

Kasus pajak Google ini masih bergulir lantaran DJP belum sepenuhnya mempercayai laporan keuangan yang diberikan Google. Berdasarkan laporan keuangan periode 2012 hingga 2015 yang dilaporkan Google ke Ditjen Pajak, Google hanya memperoleh laba sebelum pajak Rp 74,5 miliar, dengan total keseluruhan pajak yang dibayarkan Rp 18,5 miliar.

Bahkan data Bloomberg yang dirilis pasca pertemuan antara Google dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan pada 19 Januari 2017 menyebutkan, Google telah membayarkan pajak 2015 senilai Rp 5,2 miliar dari total pendapatan sebesar Rp 20,9 miliar atau US$ 1,6 juta.

Namun, Ditjen Pajak menaksir kewajiban pajak yang harus dibayar Google mencapai Rp 450 miliar per tahun dengan asumsi keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun per tahun. Keuntungan itu diperoleh atas penghasilan sekitar Rp 5 triliun per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×