kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak korporasi di luar negeri diatur ulang


Jumat, 14 Juli 2017 / 06:51 WIB
Pajak korporasi di luar negeri diatur ulang


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

JAKARTA. Pemerintah akan memperketat pengawasan pembayaran pajak penghasilan milik pengusaha Indonesia yang mempunyai perusahaan di luar negeri. Untuk itu, Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan segere merampungkan revisi aturan terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri milik wajib pajak Indonesia atau Controlled Foreign Company (CFC).

Aturan baru itu akan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 256/pmk.03/2008. Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo, dalam beberapa pekan ke depan aturan tersebut akan diberlakukan. "Beberapa minggu lagi Indonesia akan punya aturan CFC," katanya saat menjadi pembicara dalam Konferensi Pajak Internasional di Jakarta, Kamis (13/7).

Revisi ini, menurutnya, untuk mencegah wajib pajak melakukan penghindaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dari perusahaan di negara yang tingkat pajaknya lebih rendah. Namun Suryo masih belum mau menjelaskan rincian aturan ini.

Namun sebelumnya, Suryo pernah menjelaskan, dengan aturan baru ini maka pemerintah akan memperjelas definisi CFC. Sebab saat ini definisi CFC dalam undang-undang (UU) memang belum ada. Dia menyebutkan CFC adalah perusahaan luar negeri yang bisa dikontrol oleh WP Indonesia. "Ini kami definisikan, tetapi secara prinsip adalah bagaimana kita mengatakan bahwa foreign company ini ada di bawah kontrol Anda, di mana pun juga," jelasnya.

Suryo menyebutkan, selama ini banyak orang yang berinvestasi di luar negeri dengan tujuan mendapatkan return yang berujung pada pengenaan dividen. Namun dividen itu tak pernah sampai ke Indonesia. "Yang jadi concern kita adalah dia (pengusaha) investasi di berbagai negara tapi tidak pernah menerima dividen. Dia menggunakan perusahaan cangkang atau Special Purpose Vehicle (SPV) untuk menerima dividen. Karena dividen itu sudah dipotong pajak oleh negara yang bersangkutan," terang Suryo.

Nah, salah satu poin yang direvisi, menurut Suryo adalah, periode waktu wajib pajak yang dianggap menerima dividen. Dalam PMK 256, pemerintah menetapkan saat diperolehnya dividen oleh WP dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri, selain yang menjual sahamnya di bursa efek, pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh badan usaha untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Atau, pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri itu tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT PPh. Dividen itu wajib dilaporkan dalam SPT PPh di tahun pajak saat dividen diperoleh. "Yang akan kami ubah adalah kapan Anda dianggap menerima dividen? Di titik mana kami akan mengatakan bahwa WP ini dianggap memiliki dividen di suatu periode tertentu," ujar Suryo

Periode dividen

Selain itu, syarat kepemilikan saham 50% oleh WNI di perusahaan luar negeri yang ada dalam PMK yang merupakan turunan UU Pajak Penghasilan (PPh) pun akan dikaji ulang. Sebab di negara lain, kepemilikan 10% saja, sudah bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengontrol aktivitas dan pajaknya. "Sepanjang PMK masih bisa cover, ya nanti cover, tapi kalau UU mau mengubah dari 50% menjadi 10%, UU kita perbaiki dulu," katanya.

Terpisah Direktur Perpajakan Internasional John Hutagaol bilang, revisi dari aturan tersebut memang sudah dilakukan. Namun sifatnya belum final karena belum disahkan. "Iya memang sudah ada. Semoga minggu-minggu ini, tetapi belum ditandatangani,” ujarnya kepada KONTAN saat ditemui di konferensi tersebut, Kamis (13/7).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, tanpa revisi undang-undang (UU) PPh, maka batasan 50% kepemilikan saham di perusahaan luar negeri agar bisa dikatakan CFC, tidak bisa diganti di level PMK. Pasalnya UU sendiri memang telah memagari. "Batas 50% tidak bisa diganti lewat PMK, kalau mau pakai peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tidak bisa," kata Yustinus. Perppu tidak akan bisa dipakai karena sifatnya tidak memaksa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×