kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Otonomi perguruan tinggi digugat di MK


Kamis, 21 Februari 2013 / 07:32 WIB
Otonomi perguruan tinggi digugat di MK
ILUSTRASI. Harga batubara yang memanas ikut mengerak saham-saham emiten batubara tahun ini.


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Undang-Undang (UU) No 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memberikan ruang otonomi kampus dituding sebagai bibit kelahiran liberalisasi dan komersialisasi pendidikan di Indonesia. Imbasnya, pendidikan menjadi mahal dan rakyat kecil sulit mengakses universitas berkualitas.

Realita inilah yang mendorong Forum Peduli Pendidikan (FPP) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam UU Dikti. Antara lain, pasal 64 yang mengatur tentang otonomi pengelolaan non-akademik seperti bidang keuangan.

Rabu (20/2), Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang judicial review UU Dikti dengan meminta keterangan dari pihak termohon yakni pemerintah. Sidang keenam menjelang putusan tersebut menghadirkan saksi ahli Anwar Arifin.

Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD, pemerintah menampik UU No 12/2012 mendukung komersialisasi dan liberalisasi dalam pengembangan pendidikan tinggi. "Ketentuan dalam sejumlah pasal di UU Dikti yang diuji materi tidak bertentangan dengan konstitusi," kata Anwar.

Menurut Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin itu, pasal 74 ayat 1 UU Dikti memastikan jaminan hak pendidikan bagi calon mahasiswa yang kurang mampu. Aturan ini mewajibkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mencari dan menerima calon mahasiswa dengan potensi akademik tinggi sekurang-kurangnya 20% dari total mahasiswa baru.

Namun, Azmy Uzandy, Presiden Mahasiswa BEM Unand meyakini otonomi kampus  merupakan upaya pemerintah lepas tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.  Akibatnya, mahasiswa dibebankan biaya mahal. "Pasal 50 dan 65 UU Dikti memberikan otonomi pada perguruan tinggi, bukan oleh pemerintah," ujarnya. Azmy bilang, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi dapat disebutkan sebagai bibit awal dari lahirnya liberalisasi pendidikan.

Terkait pemberian otonomi kampus, Harjono, Hakim MK bilang harus diperjelas otonomi ini diberikan kepada rektor atau perguruan tinggi berbadan hukum. Sebab, menjadi rancu bila diberikan kepada rektor yang tak lain dosen karena masuk dalam komponen produksi, tapi punya wewenang memutuskan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×