kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OPSI nilai Surat Edaran THR timbulkan ketidakpastian


Selasa, 13 April 2021 / 11:17 WIB
OPSI nilai Surat Edaran THR timbulkan ketidakpastian
ILUSTRASI. Pekerja menunjukkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar pun menilai, adanya SE ini menimbulkan ketidakpastian.

Hal ini khususnya berkaitan dengan aturan yang mengatakan bahwa perusahaan yang terdampak Covid-19 sehingga tak mampu membayar THR 2021 sesuai dengan waktu yang ditentukan membuat dialog untuk mencapai kesepakatan, dimana kesepakatan secara tertulis yang memuat waktu pembayaran THR dengan syarat paling lambat dibayar sebelum hari raya keagamaan 2021.

Baca Juga: KSPI minta Kemenaker tegas soal aturan pembayaran THR

"Dengan klausula tersebut saya menilai pengusaha yang tidak mampu karena terdampak Covid 19 dipaksa membayarkan THR paling lambat H-1 sebelum hari raya. Saya nilai klausula ini sangat membingungkan dan sangat sulit dilaksanakan oleh Perusahaan," ujar Timboel dalam keterangan tertulis, Senin (12/4).

Menurutnya, aturan ini pun hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 dan tidak membuka ruang bagi perusahaan yang tidak mampu untuk mencicil.

Tak hanya menyulitkan perusahaan untuk mencari dana dalam waktu 6 hari, kewajiban pembayaran H-1 bagi perusahaan yang terdampak Covid-19 pun akan menjadi masalah bagi buruh.

"Karena bila H-1 tidak juga dibayarkan oleh Perusahaan, apa yang bisa dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan karena pada H-1 dipastikan Pengawas Ketenagakerjaan, manajemen dan pekerja sudah libur," katanya.

Bila pembayaran THR pun dilakukan di H-1, dia menilai bahwa dana THR berpotensi tidak bisa dibelanjakan sehingga harapan dana THR untuk mendukung konsumsi masyarakat tidak tercapai.

Timboel juga menilai, perubahan waktu pembayaran THR dari H-7 ke H-1 berpeluang membuat pengusaha yang terdampak Covid-19 untuk mengemplang bayar THR akan semakin besar, karena tidak diberi ruang untuk membangun kesepakatan membicarakan termin pembayaran.

"Kalau hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 maka Point 2, 3 dan 4 akan relatif percuma, mengingat akan ada kesulitan perusahaan yang terdampak covid-19 untuk membayar THR pada H-1," ujar Timboel.

Walaupun dalam aturan tersebut juga  memberikan kewenangan Gubernur/Walikota/Bupati meminta laporan keuangan sebagai bukti bahwa perusahaan tidak mampu membayar THR, Timboel juga berpendapat seharusnya perusahaan diberikan batas waktu pembuktian paling lambat H-14  sehingga Pengawas Ketenagakerjaan bisa mendorong kesepakatan dengan pekerja.

"Karena tidak ada batas waktu paling lambat maka bisa saja penyerahannya diberikan H-8 sehingga kesepakatan akan sulit dicapai karena waktu sudah sempit, dekat dengan H-7," ujarnya.

Baca Juga: Pembayaran THR tepat waktu bisa genjot konsumsi rumah tangga selama Lebaran

Dengan tidak adanya ketentuan waktu, aturan yang memerintahkan Manajemen Perusahaan dan Pekerja melaporkan hasil kesepakatan ke Pemerintah H-7 juga akan sulit dilakukan.

Adapun, dalam SE THR tersebut, pemerintah mewajibkan perusahaan untuk membayar THR keagamaan secara penuh paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Namun, perusahaan yang masih terdampak Covid-19 diwajibkan melakukan dialog dengan pekerja/buruh untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan dibuat secara tertulis yang memuat waktu pembayaran THR keagamaan dengan syarat paling lambat sebelum hari raya keagamaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×