Reporter: Fahriyadi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Kebijakan pangan Indonesia mendapat kritikan pedas. Adalah Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang menilai, kebijakan ketahanan pangan Indonesia salah arah. Akibatnya, meski angka kemiskinan menurun, jumlah penduduk yang kekurangan gizi masih cukup besar.
Penilaian ini berdasarkan hasil kajian kebijakan pertanian Indonesia alias review of agricultural policies Indonesia yang dirilis OECD, kemarin. Ken Ash, Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD mengatakan, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan komoditas lain yang bernilai tinggi, seperti tanaman buah, sayuran dan tanaman perkebunan. "Komoditas ini bisa meningkatkan penghasilan dan akses pangan bagi banyak rumah tangga tani," katanya, Rabu (10/10).
Makanya OECD menyarankan Indonesia segera meninggalkan arah pencapaian swasembada karena membutuhkan dana besar seperti untuk subdisi pupuk, perlindungan pasar impor dan ekspor. Padahal, komoditas pangan yang dikembangkan untuk mencapai swasembada justru tidak berdaya saing tinggi.
"Proteksi terhadap impor produk pertanian juga menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi laju produktivitas pertanian dan membebani biaya pangan bagi rakyat miskin," papar Ken.
Selain itu, OECD menyebut, pertanian Indonesia terkena dampak negatif dari penanaman modal yang rendah. Tapi, rendahnya penanaman modal bisa diatasi dengan mempercepat registrasi lahan dan menyederhanakan sistem kepemilikan lahan.
Jadi pertimbangan
OECD juga mencatat, selama periode 2006-2010, dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian rata-rata hanya 9% dari total nilai produksi yang diterima petani. "Untuk itu, kami usul agar dilakukan reformasi yang bisa memperbaiki efisiensi bagi petani," terang Ken.
Tahlim Sudaryanto, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Kerjasama Internasional merespons positif hasil kajian OECD itu. Rekomendasi OECD itu akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk perbaikan. Tapi, penilaian dan saran dari OECD ini tidak bisa serta merta mengubah kebijangan pangan nasional secara cepat. Pemerintah akan menggunakannya sebagai kajian kebijakan jangka panjang.
Sutrisno Iwantono, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) bilang, penilaian OECD bahwa kebijakan peranian kita salah arah, tidak sepenuhnya benar. HKTI menilai, OECD adalah lembaga dari negara maju yang memiliki kepentingan atas Indonesia. "Pemerintah harus bisa memilah rekomendasi mana yang baik dan dan tidak bagi Indonesia," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News