Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) belum lama ini mengimbau risiko membengkaknya utang baru korporasi global beberapa tahun mendatang. Di tengah menurunnya selera risiko investor dan kualitas surat utang, perusahaan disarankan untuk tidak menambah utang baru dalam bentuk surat utang atau obligasi.
Secara global, akhir 2018, total outstanding obligasi korporasi yang diterbitkan perusahaan nonkeuangan telah menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 13 triliun. OECD mencatat utang perusahaan nonkeuangan dalam bentuk obligasi korporasi meningkat secara dramatis sepanjang periode 2008-2018, yakni US$ 1,7 triliun per tahunnya.
Angka tersebut naik tinggi dibandingkan rata-rata pada sebelum tahun 2018 di mana penerbitan obligasi korporasi hanya sekitar US$ 864 miiar per tahun. Kendati begitu, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat penerbitan surat utang korporasi nasional pada 2018 mencapai Rp 132,42 triliun.
"Sementara posisi outstanding obligasi korporasi akhir tahun lalu menurut Pefindo baru sekitar Rp 500 triliun. Dibandingkan outstanding kredit perbankan yang mencapai Rp 5.000-an triliun, ini masih sangat kecil," ujar Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, Minggu (3/3).
Oleh karena itu, Lana menilai, peringatan OECD tersebut tidak berkorelasi langsung dengan kondisi pasar obligasi korporasi di Indonesia. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan justru semakin mengincar pendanaan lewat pasar modal melalui penerbitan obligasi maupun pencatatan saham publik di tengah pendanaan dari perbankan terbilang makin ketat.
Hanya saja, Lana mengatakan, imbauan OECD tersebut tetap patut diwaspadai. Pasalnya, perlambatan ekonomi global tentu akan memengaruhi potensi risiko bagi perusahaan yang mengandalkan pasar asing, misal perusahaan berorientasi ekspor.
"Ada sektor-sektor yang tentu menjadi lebih tinggi risiko obligasi korporasinya karena terpengaruh situasi potensi resesi Amerika Serikat (AS) atau China. Tapi, kalau hanya bermain di dalam negeri, saya kira tidak ada risiko besar pada obligasi korporasi kita," lanjut Lana.
Senada, Ekonom Bank Central Asia David Sumual berpandangan, pendanaan perusahaan saat ini masih lebih didominasi oleh pinjaman perbankan ketimbang pasar modal. Lantas, ruang bagi perusahaan untuk untuk menerbitkan surat utang sejatinya masih besar. "Dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, pasar obligasi korporasi kita masih kecil dan masih bisa berkembang lagi mestinya," ujar David, Minggu (3/3).
Namun, David tak menampik pelaku pasar dalam negeri mesti turut mewaspadai risiko yang disebut OECD. Jika kondisi pasar obligasi secara global memburuk, bukan tak mungkin risiko tersebut akan ikut merembet ke pasar modal maupun pasar keuangan dalam negeri.
"Tetap harus waspada karena seperti 2008 lalu, krisis finansial terjadi justru karena kasus default di negara maju seperti AS dan merembet ke emerging markets melalui pasar modal. Ini bisa menjadi tambahan risiko eksternal untuk kita," tandas David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News