Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) belum lama ini mengimbau kewaspadaan pada risiko membengkaknya utang baru korporasi global beberapa tahun mendatang. Di tengah menurunnya selera risiko investor dan kualitas surat utang, perusahaan disarankan untuk tidak menambah utang baru dalam bentuk surat utang atau obligasi.
Dalam laporannya pekan lalu, OECD mencatat utang perusahaan nonkeuangan dalam bentuk obligasi korporasi meningkat secara dramatis sepanjang periode 2008-2018, yakni US$ 1,7 triliun per tahunnya. Angka tersebut naik tinggi dibandingkan rata-rata pada sebelum tahun 2018 di mana penerbitan obligasi korporasi hanya sekitar US$ 864 miiar per tahun.
Akhir 2018, total outstanding obligasi korporasi yang diterbitkan perusahaan nonkeuangan saja telah menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 13 triliun. Perusahaan dari negara-negara maju yang menguasai 79% dari total outstanding global tersebut, mengalami pertumbuhan nilai penerbitan 70%, dari US$ 5,97 tirliun pada 2008 menjadi US$ 10,7 trilun pada 2018.
Sementara, penerbitan obligasi korporasi di negara emerging markets yang didominasi oleh China, telah mencapai total outstanding US$ 2,78 triliun pada tahun lalu, atau tumbuh 395% dibandingkan satu dekade sebelumnya.
OECD menyatakan, ada beberapa risiko yang mesti diwaspadai oleh pasar obligasi ke depan. Di antaranya, kualitas obligasi yang mengalami tren penurunan secara global. Pangsa obligasi dengan peringkat BBB, peringkat investment grade paling bawah sebelum dikategorikan sebagai obligasi sampah (junk bonds) mencapai 54%, tertinggi dalam catatan OECD sejak 1980.
Selain itu, OECD juga memperingatkan kondisi perekonomian global yang sedang dalam tren melambat. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi dikhawatirkan makin sulit melakukan refinancing maupun melunasi utang. Pada akhirnya, perusahaan akan menerbitkan instrumen yang berkulitas rendah dengan risiko gagal bayar lebih tinggi.
Menanggapi imbauan OECD tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman, menilai peringatan tersebut memang patut menjadi perhatian. "Namun, untuk konteks dalam negeri, saya pikir kita tidak punya special case gagal bayar yang besar, itu kan enggak ada. Jadi, lebih ke peringatan normatif yang sifatnya global," ujar Luky, Rabu (27/2) lalu.
Luky mengamini, kondisi perekonomian global yang melesu, ditambah ketidakpastian seputar perang dagang hingga Brexit menjadi faktor risiko yang menyelimuti pasar obligasi secara global maupun domestik. Belum lagi, saat ini suku bunga acuan masih dalam posisi yang tinggi
"Environment kita yang sudah high interest rate juga menjadi risiko juga menjadi perhatian bagi perusahaan. Harus tetap hati-hati," tandas Luky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News