Reporter: Bidara Pink | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 membuat banyak negara jor-joran memberikan stimulus baik fiskal maupun moneter guna menyelamatkan perekonomian dari virus mematikan tersebut.
Seiring berjalannya waktu, banyak negara, terutama negara maju, yang sudah menunjukkan tanda pemulihan lebih cepat. Salah satunya, bisa dilihat dari tingkat inflasi yang cenderung meroket.
Hal ini mendorong negara-negara tersebut melakukan normalisasi kebijakan. Sebut saja Amerika Serikat (AS) dengan kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang sudah mengurangi penambahan likuiditas (tapering off) sejak November 2021 lalu.
Ini kemudian menjadi kewaspadaan bersama, terutama bagi negara-negara berkembang yang pulih lebih lambat dan masih membutuhkan stimulus untuk melanjutkan proses pemulihan ekonomi.
Bila menarik ke belakang, pada tahun 2013 dunia menghadapi kondisi yang serupa. Ini lebih dikenal dengan istilah taper tantrum. Pada periode tersebut, arus modal asing hengkang dari negara berkembang dan menyebabkan pelemahan nilai tukar.
Baca Juga: China Perketat Lagi Pembatasan Akibat Covid-19, Aktivitas Pabrik Alami Kontraksi
Namun, menimbang kondisi terkini, Bank Indonesia (BI) optimistis negara berkembang termasuk Indonesia memiliki ketahanan yang kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan bank sentral negara-negara lain. Dengan kata lain, BI yakin kondisi seperti taper tantrum tak akan terulang.
“Ini karena komunikasi yang lebih baik sehingga sinyal perubahan arah kebijakan bisa diantisipasi. Selain itu, kondisi perekonomian juga lebih baik (dibandingkan tahun 2013),” ujar Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa BI Rudy B. Hutabarat, Sabtu (29/1).
Namun, tetap saja Indonesia tak boleh jemawa. Pasalnya, normalisasi kebijakan ini tetap akan membawa ketidakpastian dan tantangan baru bagi pemulihan ekonomi domestik dan stabilitas pasar keuangan.
Untuk itu, perumusan exit strategy ini perlu dilakukan dengan negara-negara lain. Apalagi, kata Rudy, dengan pertimbangan pemulihan yang tidak merata antara negara satu dengan negara yang lain. Sehingga, akan ada perbedaan respon kebijakan.
“Ini relevan karena proses pemulihan negara-negara ada yang cepat ada yang lambat. Jadi berbeda respon kebijakannya. Ini bisa dengan memperkuat monitoring risiko global dan meminimalkan dampak negatif,” tambahnya.
Baca Juga: The Fed Mau Kerek Suku Bunga, Bank di Amerika Serikat Incar Kenaikan NIM
Senada, Head of Economics and Financial Markets for Asia dan Pacific The Bank For International Settlement (BIS) Ilhyock Shim menilai sebagian negara berkembang di Asia sudah memiliki ketahanan yang lebih baik dari kondisi taper tantrum 2013.
“Kebanyakan negara berkembang di Asia sudah memiliki fundamental yang lebih baik dan kekuatan institusional. Ini akan membantu dalam menghadapi kondisi finansial global,” tutur Shim.
Namun, Shim tetap menilai sangat krusial bagi negara berkembang untuk memonitor pergerakan valuta asing dan jumlah pembelian aset, hingga perkembangan harga komoditas seiring kebijakan negara maju tersebut.
Bahkan, bila memungkinkan, Shim mengimbau bank-bank sentral negara berkembang untuk menimbang mengerek suku bunga kebijakan untuk menjaga stabilitas pasar valuta asing.
Apalagi, bila mereka menghadapi kondisi depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat dalam dan ini mengancam kondisi stabilitas inflasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News