Reporter: SS. Kurniawan, Anna Suci Perwitasari, Maria Elga Ratri | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Berat, bahkan sangat berat. Begitu gambaran beban yang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pikul tahun ini. Betapa tidak? Sepanjang tahun 2013, mereka mesti memungut pajak dengan target yang sangat fantastis: di atas Rp 1.000 triliun!
Ini untuk kali pertama pemerintah memasang target penerimaan pajak menembus angka Rp 1.000 triliun, persisnya, Rp 1.042,3 triliun. "Memang akan tambah berat, tapi kami tidak bisa memilih," kata Fuad A. Rahmany, Direktur Jenderal Pajak, pasrah.
Bagaimana enggak berat? Target penerimaan pajak tahun lalu saja yang hanya Rp 885,1 triliun tidak tercapai. Catatan saja, selama 2012, Ditjen Pajak cuma berhasil memungut pajak Rp 835,6 triliun atau 94,4% dari target. Target yang meleset ini tak lepas dari realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang hanya Rp 464,7 triliun atawa 90,3% dari target yang sebanyak Rp 513,7 triliun.
Pemasukan dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang sedikit melebihi target, yakni Rp 337,6 triliun atau 100,5% dari target, membuat penerimaan pajak 2012 tidak turun terlalu dalam. "PPN menjadi penyelamat," imbuh Agus Martowardojo, Menteri Keuangan.
Beban yang tidak kalah berat juga ada di pundak Ditjen Bea dan Cukai. Meski tidak segede Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai mesti memikul target penerimaan bea dan cukai tahun ini total sebesar Rp 150,7 triliun. Angka ini naik 4,2% dari realisasi penerimaan bea dan cukai tahun lalu yang Rp 144,5 triliun.
Untung saja, Ditjen Bea Cukai berhasil mencapai target tahun lalu, bahkan lebih. Total, mereka bisa memungut bea dan cukai sebesar 110,1% dari target yang Rp 131,1 triliun. Namun, perolehan ini sedikit tercoreng lantaran penerimaan bea keluar loyo, cuma 91,3% dari target yang Rp 23,2 triliun. Nah, target bea keluar tahun ini yang sebanyak Rp 31,7 triliun sudah pasti akan menjadi beban yang berat bagi Ditjen Bea Cukai.
Toh, secara keseluruhan, target penerimaan perpajakan kita, baik pajak, cukai, dan bea, tahun lalu meleset. Sebab, hanya terkumpul Rp 980,1 triliun atau 3,6% lebih rendah dari target yang sebesar Rp 1.016,2 triliun. Pemerintah menuding kondisi perekonomian dunia yang kurang darah akibat krisis sebagai biang kerok penerimaan perpajakan yang tidak mencapai target itu. Alhasil, nilai ekspor kita merosot tajam terutama di sektor pertambangan serta manufaktur.
Terlebih, harga komoditas terkoreksi sampai 35%. "Kalau untuk ekspor pertambangan jumlahnya tidak menurun tapi harganya yang turun, dan itu sangat berdampak pada penerimaan pajak," ujar Fuad.
Jurus menarik pajak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor pertambangan sektor bahan bakar mineral sepanjang Januari hingga November 2012 turun US$ 509,8 juta menjadi US$ 24,1 miliar ketimbang periode yang sama di 2011 lalu. Begitu juga dengan ekspor bijih, kerak, dan abu logam yang anjlok US$ 2,4 miliar menjadi US$ 4,5 miliar. Bisa jadi, salah satu penyebab penurunan nilai ekspor sektor bijih, kerak, dan abu logam adalah pengenaan bea keluar terhadap ekspor bijih mineral sebesar 20% mulai 6 Mei 2012.
Alhasil, ekspor nonmigas kita selama Januari-November 2012 merosot sebanyak US$ 7,6 miliar menjadi US$ 140,7 miliar dibandingkan dengan periode yang sama pada 2011.
Masalahnya, tampaknya, ekspor yang lesu bakal terus berlanjut tahun ini. Maklum, kondisi perekonomian global masih sakit.
Mengantisipasi kondisi itu, Ditjen Pajak dan Bea Cukai sudah pasang kuda-kuda jauh-jauh hari untuk menjaga penerimaan tahun ini. Mereka sudah menyiapkan pelbagai jurus, baik yang baru maupun lama.
Yang baru, misalnya, Ditjen Pajak akan memberlakukan pajak khusus bagi usaha kecil dan menengah (UKM) dengan tarif sebesar 2%. Perinciannya adalah PPh 1% dan pajak pertambahan nilai (PPN) 1%. Pajak ini menyasar pelaku usaha dengan omzet mulai Rp 300 juta sampai Rp 4,8 miliar setahun.
Sedang Ditjen Bea Cukai menggunakan jurus mengerek tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 8,5%. Batasan harga jual eceran (HJE) per batang atau gram juga naik, lo. Contoh, tarif cukai sigaret kretek mesin golongan I dengan HJE lebih dari Rp 669 adalah Rp 375 per batang atau gram.
Agus juga bertekad meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih sangat rendah. Data Ditjen Pajak memperlihatkan, baru sekitar 25 juta wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak. Padahal, total, ada sekitar 60 juta wajib pajak orang pribadi di negeri ini. Di saat yang sama, baru sekitar 520.000 badan usaha yang menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Angka ini hanya 10,4% dari sekitar lima juta badan usaha. Selama ini, "Walaupun ada wajib pajak, yang betul-betul bayar pajak masih rendah sekali," ungkap Agus.
Bagi pelaku usaha, kebijakan tarif perpajakan baru jelas menjadi beban tambahan. Pasalnya, kenaikan tarif listrik dan upah minimum provinsi (UMP) saja sudah membuat biaya produksi membengkak 17%-30%.
Tak heran, Suryadi Sasmita, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyebut tahun 2013 sebagai tahun yang berat bagi pelaku usaha. "Bisa bertahan saja masih untung," katanya.
Itu sebabnya, Suryadi menilai, target penerimaan pajak tahun ini yang menembus angka Rp 1.000 triliun terlalu berani. Pemerintah tidak melihat kondisi perekonomian dunia yang belum pulih benar. Padahal, situasi ini pasti mengurangi keuntungan perusahaan.
Meski begitu, Suryadi menyambut baik rencana pemerintah untuk memperluas target wajib pajak badan usaha, meski ia menyangsikan pelaksanaannya. Menurut dia, banyak pelaku usaha yang masih belum membayar pajak, seperti pengusaha batubara, pebisnis online, serta sarang burung walet. Tapi, "Saya khawatir, karena sistem perpajakan yang belum rapi, nanti, pengusaha yang sudah bayar pajak diacak-acak lagi," ujar Ketua Harian Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (APGAI) ini.
Sementara itu, Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo, berpesan, pemerintah juga harus bisa melindungi produk dalam negeri dari serbuan barang impor ilegal. "Produk-produk itu, kan, enggak bayar pajak, jadi bisa dijual murah dan mematikan pasaran produk yang legal," tegasnya.
Bagaimanapun, target telah ditetapkan. Pemerintah siap membidik semua potensi perpajakan. Tentu saja, para pengusaha harus bersiap.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 16 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News