Reporter: Adinda Ade Mustami, Amailia Putri Hasniawati, Asep Munazat Zatnika | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga minyak mentah tergelincir lagi ke level terendahnya sejak tahun 2003. Kemarin, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) di bursa komoditas Amerika Serikat sempat turun ke level US$ 29,26 per barel.
Memang, harga minyak bisa naik ke posisi US$ 30 per barel. Namun, pasar sudah memperkirakan, harga minyak masih dalam tren turun. Bahkan perusahaan keuangan dunia Morgan Stanley memprediksikan harga minyak dunia longsor hingga US$ 20 per barel.
Satu sisi, penurunan harga minyak membawa kabar baik bagi Indonesia. Misalnya, harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi murah, biaya impor BBM lebih ringan bagi anggaran negara, dan biaya transportasi dan energi pun murah. Ujungnya, inflasi bisa lebih rendah lagi.
Penurunan harga BBM akan membuat biaya produksi industri manufaktur turun. Harga produk bisa turun, sehingga ekspor manufaktur dan nonmigas lebih kompetitif.
Dari sudut pandang yang lain, penurunan harga minyak juga membawa konsekuensi besar. Misalnya, ekspansi industri migas lesu atau malah menghentikan produksinya. Akibatnya, potensi PHK di industri migas mengintai.
Anjloknya harga minyak akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Apalagi, ekspor Indonesia masih bertumpu pada komoditas yang harganya selalu mengacu pada harga minyak. Jika harga minyak turun, "Penerimaan ekspor turun," kata Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), kemarin (18/1).
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, dampak lanjutan rendahnya harga minyak berpeluang mempengaruhi penerimaan negara. Khususnya pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas. Penurunan harga minyak ini bisa memangkas signifikan penerimaan negara.
Sebagai gambaran, selama ini penerimaan sektor migas dan sumber daya alam menopang 20%-25% terhadap total penerimaan negara. Itu sebabnya, Menko Ekonomi Darmin Nasution menyatakan, pemerintah terus menghitung dampak penurunan harga minyak terhadap fiskal maupun harga BBM. "Jika harga minyak turun terus, akan ada langkah yang diambil," tandas Darmin.
Salah satu antisipasi yang disiapkan pemerintah adalah mengajukan revisi asumsi harga minyak dan penerimaan negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. "Kita lihat perkembangannya sampai waktu pengajuan RAPBNP 2016. Sebab harga minyak masih sangat fluktuatif," kata Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kemkeu.
Memicu ekonomi
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyatakan, dari pengalaman masa lalu, anjloknya harga minyak justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara pengimpor minyak (net importir), Indonesia diuntungkan dengan inflasi yang rendah dan biaya produksi yang turun. "Tinggal bagaimana pemerintah menjaga harga pangan," ujarnya.
Survei harga pekan kedua Januari 2016 oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) naik sebesar 0,75%. Tekanan harga terjadi pada komoditas hortikultura, seperti cabai dan bawang merah. Tekanan harga juga terjadi pada daging ayam dan telur ayam.
David menilai asumsi harga minyak paling ideal saat ini sekitar US$ 30 per barel. "Untuk asumsi rupiah masih oke, pertumbuhan PDB juga masih realistis," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News