kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merongrong daya beli


Kamis, 07 Mei 2015 / 10:00 WIB
Merongrong daya beli
ILUSTRASI. Manfaat jus mangga untuk kesehatan.


Reporter: Andri Indradie, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Sebagian besar penyumbang produk domestik bruto (PDB) Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga. Naasnya, daya beli masyarakat malah terus digencet hingga sulit bernapas.

Kebijakan pencabutan subsidi premium dan subsidi tetap solar, meski bermaksud baik, membuat harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Yang juga menjadi masalah, pemerintah seolah tak berdaya mengendalikan dampak turunan dari kenaikan harga BBM ke harga-harga barang yang lain. Padahal, faktor harga BBM masih menjadi komponen utama penggerak bisnis di Indonesia, misalnya distribusi bahan makanan.

Belum lagi kenaikan tarif tenaga listrik yang seolah tak ada hentinya. Mulai 1 Mei 2015, pemerintah bakal memberlakukan penyesuaian tarif sesuai pasar (tariff adjustment). Kebijakan ini diberlakukan bagi pelanggan rumah tangga berdaya 1.300 VA dan 2.200 VA. Keputusan ini termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 9 tahun 2015.

Penyesuaian tarif listrik akan dilakukan setiap bulan yang mengacu pada tiga indikator. Ketiganya adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), dan inflasi. Saat ini kedua jenis pelanggan rumah tangga tersebut dikenakan tarif tetap Rp 1.352 per kWh.

Sebelumnya, pada 1 April 2015, Pertamina juga kembali menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram (kg) Rp 8.000,04 per tabung. Dus, harga di tingkat agen menanjak dari Rp 134.000 per tabung menjadi Rp 142.000 per tabung. Pertamina beralasan, penyesuaian harga ini dilakukan agar perusahaan milik negara itu tidak merugi.


Belum optimal

Sayangnya, hingga saat ini pemerintah sendiri belum terlihat berbuat banyak guna menopang perekonomian nasional. Tengok saja, hingga 27 April 2015, realisasi penggunaan belanja negara sudah mencapai Rp 440 triliun, setara dengan 22,18% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang mencapai Rp 1.984,1 triliun.

Masalahnya, sebagian besar belanja negara itu disedot untuk pos belanja pegawai, bukan belanja modal. Dus, efek berganda dari belanja negara yang produktif juga belum bisa diharapkan.

Dampaknya terlihat hingga ke sektor riil. Peneliti dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Yongky Susilo menyebut, kini pertumbuhan semua sektor riil sudah dalam bahaya, termasuk sektor ritel.

Ritel modern yang selama ini menjadi pendorong pertumbuhan, volume growth-nya sedang menuju angka 0%. Saat ini angkanya masih 2,6% dan masih turun terus. “Ini tugas pemerintah gelontorkan uang untuk ke kelas menengah bawah. Karena mereka lebih keras terkena imbas dan hilang daya beli,” kata Yongky.

Namun, ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono masih optimistis pemerintah berada di jalur yang benar. Ambil contoh, dari pos subsidi BBM yang tidak direalisasikan karena harga minyak dunia jatuh, pemerintah memiliki Rp 217 triliun untuk stimulus ekonomi. Dana ini bisa digunakan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.

Soal gejolak nilai tukar rupiah yang kini bak hantu, Tony melihatnya lebih karena faktor non ekonomi. Lagipula, Amerika Serikat tidak akan membiarkan posisi dollar AS terlalu menguat karena akan merugikan daya saing produk mereka. “Nilai tukar rupiah akan berada di level Rp 13.000-an, tidak akan melemah ke Rp 13.500 dan Rp 14.000 per dollar AS,” kata Tony yakin. Apa pun, kenyataannya, kini sektor riil mulai merintih.    

Laporan Utama
Mingguan KONTAN No. 32-XIX,2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×