Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Industri telekomunikasi khususnya di sektor layanan data berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hanya saja, banyaknya jumlah operator tidak sebanding dengan keberadaan sumber daya frekuensi sehingga layanan data kurang berkualitas. Mengatasi hal itu, pemerintah ingin mempermudah operator telepon selular (ponsel) untuk saling bergabung (merger).
Asal Anda tahu, di Indonesia terdapat beberapa frekuensi untuk telekomunikasi. Khusus layanan paket data (3G), berada di frekuensi 2,1 Giga Hertz (GHz). Di Frekuensi itu hanya terdapat 12 blok yang sudah dimiliki operator ponsel.
Sebenarnya, 12 blok itu sudah cukup untuk melayani paket data 3G dengan baik. Hanya saja, karena jumlah operator jaringan ponsel sangat banyak dan pembagian blok berdasarkan lelang, maka ada operator yang sebenarnya butuh blok lebih besar agar layanannya lebih berkualitas. Gambarannya, PT Telkomsel memiliki lebih dari 100 juta pelanggan pada tahun ini, tapi hanya memiliki 3 blok. Bandingkan dengan PT Axis Telekom Indonesia hanya memiliki 17 juta pelanggan per akhir 2012, tapi punya 2 blok kanal 3G.
Kondisi itu pula yang menjadikan PT XL Axiata melirik Axis. Hingga akhir Maret 2013, XL mempunyai 49,1 juta pelanggan. Nah, XL jadi membeli Axis, mereka akan punya lima kanal 3G. Itu adalah modal terbaik untuk menyasar bisnis layanan data yang berkualitas.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Gatot S Dewabroto, mengaku sudah ada laporan aksi korporasi dua perusahaan telekomunikasi itu. Kemkominfo pun mendukung rencana itu.
Hanya saja, aksi korporasi dalam bentuk akuisisi atau merger terhalang adanya beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit. Pada Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53/2000 disebutkan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Kemudian, pada Pasal 25 ayat 2 PP Nomor 53/2000 disebutkan bahwa izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.
Gatot mengakui, PP itu menyulitkan merger perusahaan telekomunikasi. Mengingat, akan ada pengalihan frekuensi, sehingga berpotensi melanggar PP. Bila pelanggaran terjadi, perusahaan harus mengembalikan kanal 3G ke pemerintah. "Jujur saja, PP itusudah banyak ketinggalan sehingga perlu adanya revisi," ujar Gatot, Jumat (28/6).
Harus cepat
Padahal, merger antarperusahaan telekomunikasi sangat perlu karena jumlah kanal 3G terbatas. Merger akan menciptakan efisiensi penggunaan frekuensi di sektor telekomunikasi. Namun, "Kalau revisi PP-nya tanggung, sekalian saja UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi," tandas Gatot.
Gatot mengatakan, saat ini posisi revisi UU Telekomunikasi masih ada di Kemkominfo. "Sebelumnya sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM untuk draft revisi UU Telekomunikasi namun dikembalikan lagi karena masih perlu perbaikan," ujarnya.
Sayangnya, Gatot enggan menyampaikan apakah revisi UU itu bakal membolehkan akuisisi atau merger tanpa mengembalikan frekuensi yang dimiliki salah satu operator. "Pada intinya ketentuan yang nanti dibuat mengikuti perkembangan teknologi khususnya disektor telekomunikasi," papar Gatot.
Anggota Komisi I DPR, Helmy Fauzi, mengatakan, pemerintah harus bertindak cepat membuat kebijakan baru di industri telekomunikasi agas mengikuti perkembangan teknologi. "Kalau dikejar lewat UU terlalu lama, sebaiknya pemerintah membuat peraturan pemerintah penggangi UU," ujarnya.
Benar, belum tentu revisi UU selesai tahun ini. Sementara, pelanggan layanan data semakin banyak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News