kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menyoal usulan revisi UU Kepailitan dan PKPU


Rabu, 27 Juni 2018 / 21:26 WIB
Menyoal usulan revisi UU Kepailitan dan PKPU
ILUSTRASI. Ilustrasi Simbol Hukum dan Keadilan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Swandy Halim, pengacara dari kantor hukum Swandy Halim & Partners menilai usulan revisi Undang-Undang (UU) No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di mana hanya debitur yang bisa mengajukan permohonan PKPU terlalu dipaksakan.

Swandy yang kerap punya klien dari pihak perbankan yang mengajukan permohonan PKPU menyatakan bahwa, peran kreditur jadi pemohon PKPU tak terjadi serta merta.

"Dahulu hanya ada UU Kepailitan, kemudian pada 1998 melalui Jakarta Initiative kreditur bisa meminta debitur untuk merestukturisasi utang-utangnya. Hingga peran kreditur dapat mengajukan restrukturisasi direstui UU 37/2004," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/6).

Swandy menambahkan, usulan ini justru bisa jadi bumerang bagi dunia usaha nasional. Sebab, dengan hilangnya hak kreditur mengajukan PKPU, opsi yang bisa ditempuh kreditur hanya mengajukan pailit, yang justru berpotensi untuk dilakukan pemberesan aset.

Ia terutama beri contoh soal kreditur dari pihak perbankan yang kerap memegang tagihan dengan jaminan (separatis). Jika pailit, dan dilakukan pemberesan aset, maka nilai pengembalian utang berpotensi tinggi anjlok.

"Tentu akan ada efeknya terhadap ekonomi nasional, karena memang tak ada opsi lain bagi kreditur selain pailit. Kemudian harus juga dilihat dari segi perbankan, tak ada bank yang mau debitur pailit, karena tentu akan mengganggu bisnisnya," jelas Swandy.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bank- Internasional Indonesia (Perbina) Batara Sianturi mengaku masih butuh kajian guna mempelajari efek-efek yang ditimbulkan jika usulan tersebut masuk dalam revisi UU 37/2004.

"Apakah usulan itu akan berimbas ke NPL (Non Performing Loan), dan bisnis perbankan umunya? Masih butuh kajian. Kami pun memang belum mendiskusikan hal tersebut secara detail," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/6).

Sedangkan alasan munculnya usulan ini, lantaran permohonan PKPU justru jadi ajang mempailitkan perusahaan juga dinilai Swandy terlalu cepat menyimpulkan.

"Kalau mau, silakan saja riset, ada berapa permohonan PKPU yang berakhir pailit, insolvensi. Ada memang yang demikian, tapi menurut saya justru lebih banyak yang berakhir dengan perdamaian (homologasi)," lanjutnya.

Sebelumnya, Wakil Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Baso Fakhruddin menyatakan usulan agar debitur jadi satu-satunya pemohon PKPU adalah soal banyaknya pengajuan PKPU yang ditujukan untuk mempailitkan debitur.

"Marwah PKPU itu kan untuk restrukturisasi sementara, dan banyak pengajuan PKPU oleh kreditur banyak yang blocking untuk perdamaian (homologasi), sehingga menjadi pailit. Keadaan pailit dari permohonan PKPU ini bisa langsung terjadi insolvensi," jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/6).

Lagi pula, kata Baso ihwal restrukturisasi utang, pihak debitur yang paling paham bagaimana kondisi utang-utangnya kepada kreditur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×