Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
Pengantar
Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Selasa 20 Mei 2014. Redaksi memuat lagi artikel ini di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih luas lagi. Selamat membaca.
Menjadi Capres-Cawapres Panutan Pajak
Oleh Ujang Sobari, pegawai Ditjen Pajak
Kita bersiap memiliki presiden baru. Para calon presiden dan wakilnya kemarin telah mendeklarasikan diri: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kita berharap siapapun presiden terpilih akan menjadi panutan bagi wajib pajak. Panutan ini dimulai dari pemenuhan persyaratan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Persyaratan bagi Capres/Cawapres dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2014 tentang Pencalonan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Salah satu syaratnya adalah Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama lima tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Sudah menjadi keharusan dalam negara demokrasi modern, negara ditopang oleh kemandirian keuangannya melalui penerimaan pajak dari pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Dari penerimaan pajak inilah negara demokrasi modern memainkan peran untuk memajukan rakyatnya dengan program-program sesuai dengan janji kampanye dari Capres/Cawapresnya.
Pada tahun anggaran 2014, target penerimaan pajak dalam APBN 2014 di atas seribu triliun, tepatnya Rp 1.110,2 triliun. Angka ini naik sebesar Rp 115 triliun (11,6%) dibandingkan dengan target pajak dalam APBN-P 2013. Penerimaan pajak ini adalah sebesar 66,6% dari total pendapatan negara yang Rp 1.667.1 triliun.
Menjadi pertanyaan dari sisi administrasi perpajakan, apakah cukup persyaratan Capres/Cawapres dengan hanya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan sudah membayar/melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (SPT PPh OP) ataukah masing-masing Capres/Cawapres diminta untuk lebih dari itu?
Tak cukup syarat formal
Sistem perpajakan di Indonesia menggunakan asas self-assessment di mana Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri.
Ketika seseorang memiliki NPWP itu merupakan pintu masuk dalam sistem administrasi perpajakan di Indonesia. Dan ketika wajib pajak sudah membayar kewajiban perpajakannya dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar, sesungguhnya itu baru pemenuhan formal kewajiban perpajakan paling mendasar.
Artinya jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak hanya meliputi kewajiban pajak yang dihitung oleh Wajib Pajak. Ketika ada objek pajak yang belum/tidak dilaporkan maka sesungguhnya Wajib Pajak belum sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya.
Sehingga kebenaran material dari Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dapat diuji melalui pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kewenangan pemeriksaan dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Capres/Cawapres sepatutnya memiliki Surat Keterangan Fiskal (SKF) sebagai bukti bahwa yang bersangkutan, pertama, telah membayar dan melaporkan kewajiban perpajakan untuk seluruh jenis pajak dalam tahun berjalan sampai dengan bulan terakhir termasuk PPh Final yang dipotong/ dipungut atau disetor sendiri.
Kedua, tidak mempunyai tunggakan pajak atas ketetapan pajak. Ketiga, tidak ada indikasi tindak pidana fiskal (Wajib Pajak sedang dilakukan penyidikan pajak). Surat Keterangan Fiskal (SKF) akan diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Capres/Cawapres terdaftar didahului dengan surat permohonan dan akan dipenuhi oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam waktu 10 hari kerja.
Surat Keterangan Fiskal menunjukkan bahwa secara administrasi perpajakan, Wajib Pajak sudah benar-benar memenuhi kewajibannya. Kenapa SKF ini penting? Dengan SKF, Capres/Cawapres sudah membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai warga negara yang baik. Kepemilikan SKF ini merupakan wujud Capres/Cawapres sebagai tokoh panutan pembayar pajak di Indonesia. Semoga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News