Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menyiapkan program subsidi atau insentif untuk kendaraan listrik, baik itu untuk mobil listrik maupun motor listrik.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan kemungkinan besar rencana pemberian insentif pembelian mobil listrik akan berupa diskon pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 1%.
Hanya saja, rencana insentif tersebut final lantaran masih menunggu aturan (Peraturan Menteri Keuangan) yang akan terbit pada minggu depan. Sementara itu, insentif pembelian kendaraan roda dua elektrik akan diberikan sekitar Rp 7 juta.
"Rp 7 juta untuk sepeda motor. Nanti yang mobil itu insentif dari 11% (pajaknya) kita bikin mungkin 1% pajaknya. Subsidinya kan sama saja," ujar Luhut dalam acara Mandiri Investment Forum 2023, Rabu (1/2).
Baca Juga: Ini Bocoran Soal Subsidi Motor Listrik dan Diskon PPN Mobil Listrik, Penasaran?
Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Ditjen Pajak Bonarsius Sipayung tidak membantah bahwa memang akan ada potensi penurunan rasio pajak (tax ratio) akibat pemberian insetif tersebut. Namun dirinya tidak menyebut seberapa besar potensi penurunannya.
"Potensi itu ada (penurunan tax ratio)," ujar Bonarsius kepada Kontan.co.id, Kamis (2/2).
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, rencana pemerintah memberikan insentif mobil berupa diskon PPN bukanlah merupakan langkah yang tepat. Ini karena ada potensi loss dari penerimaan negara.
"Betul (kurang tepat), bukan kurang lagi, tapi memang tidak tepat," kata Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (2/2).
Memang, untuk potensi loss, Fajry mengatakan, harus melihat mobil mana saja yang akan mendapatkan insentif tersebut. Namun, jika menggunakan data tahun lalu, potensi loss-nya tidak akan terlalu besar, hanya berkisar Rp 192 miliar.
"Itupun masih gross. Kalau kita asumsikan permintaan naik karena ada insentif, paling Rp 250 miliar," katanya.
Senada dengan Fajry, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menyampaikan, pemberian insentif memang diperlukan untuk menstimulus kegiatan ekonomi yang menjadi objeknya. Namun di sisi lain, ada risiko kehilangan potensi penerimaan pajak.
"Saya melihat setiap pemberian insentif itu seperti koin dengan dua sisi yang berbeda," tutur Wahyu.
Begitu juga dengan insentif pengurangan tarif PPN untuk kendaraan dari 11% menjadi 1%. Akan ada pptensi penerimaan PPN yang akan hilang.
Hanya saja, kata Wahyu, pemberian insentif tersebut akan berdampak kepada peningkatan permintaan mobil listrik dalam tahun-tahun mendatang. Ia mengutip data dari Gaikindo, jumlah mobil listrik berbasis BEV yang terjual di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 10.327 unit. Angka ini naik tajam dari penjualan mobil listrik di tahun 2021 yang hanya sebanyak 685 unit.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya, pemerintah akan mempunyai tambahan dari penerimaan pajak apabila industri mobil listrik berkembang di tahun-tahun mendatang. Selain dari penerimaan PPN atas penjualan kendaraan listrik, pemerintah juga akan menerima tambahan penerimaan pajak dari penghasilan perusahaan dan juga karyawannya.
"Jika kita kaitkan dengan konteks tax ratio, pemberian insentif PPN belum tentu mengurangi angka tax ratio, karena angka tax ratio dihitung dari seluruh penerimaan pajak, tidak hanya PPN," jelas Wahyu.
Namun, Wahyu menekankan, insentif tersebut hanya bersifat stimulus, sehingga pemberian insentif tersebut tidak bisa diberikan selamanya.
Baca Juga: Perusahaan Warren Buffett Jual Saham Produsen Mobil Listrik China BYD
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News