Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menggulirkan enam jenis insentif fiskal untuk mendongkrak daya beli masyarakat, mulai dari diskon transportasi, potongan tarif tol, diskon tarif listrik, tambahan alokasi bantuan sosial (bansos), bantuan subsidi upah (BSU), hingga perpanjangan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Lantas, akankah insentif ini bisa kembali memicu deflasi dalam ke depan? sebab, deflasi sempat terjadi salah satunya disebabkan kebijakan diskon tarif listrik diberikan pemerintah untuk pengguna di bawah 2.200 VA pada Januari dan Februari 2025.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai, meski insentif tersebut berpotensi menekan laju inflasi, belum tentu akan menyebabkan deflasi secara langsung.
Baca Juga: Pakar Otomotif Kritisi Potensi Dampak Insentif Fiskal ke Berbagai Jenis Mobil
Ia menjelaskan bahwa pengaruh insentif pemerintah terhadap harga bersifat kompleks dan tidak linier.
“Insentif pemerintah seperti diskon tarif listrik dan BSU tentu akan memberikan tekanan ke bawah terhadap inflasi, namun belum tentu secara otomatis menghasilkan deflasi,” tutur Rizal kepada Kontan, Senin (26/5).
Ia menambahkan, penurunan tarif listrik memang bisa mengurangi tekanan harga di sektor perumahan, namun BSU justru berfungsi menjaga konsumsi masyarakat, khususnya di kalangan berpendapatan rendah.
Dengan kata lain, menurut Rizal, kebijakan ini cenderung menciptakan disinflasi, yakni perlambatan laju inflasi bukan deflasi murni. Namun apabila, deflasi benar terjadi, ia mengingatkan agar tidak buru-buru menganggapnya sebagai keberhasilan kebijakan.
“Kalau sampai terjadi deflasi, itu justru bisa menjadi sinyal bahwa konsumsi rumah tangga sedang melemah, bukan semata hasil keberhasilan kebijakan,” jelasnya.
Baca Juga: Hitung-Hitung Dampak Insentif Properti Pemerintah di 2025, Berikut Saham Unggulannya
Menurut dia, deflasi yang bersifat teknis dan sementara bisa dianggap positif karena mengurangi beban pengeluaran masyarakat.
Namun, jika berlangsung terus-menerus, bisa menjadi pertanda lemahnya permintaan domestik. Dalam konteks pemulihan ekonomi, lanjutnya, yang diharapkan justru peningkatan konsumsi yang sehat dan berkelanjutan.
Lebih jauh, Rizal juga menyoroti sejumlah faktor lain yang tetap harus diwaspadai ke depan. Selain pengaruh global seperti harga minyak dunia dan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika (The Fed), faktor musiman dan struktural dalam negeri seperti harga pangan dan energi tetap menjadi tantangan utama.
“Hal yang harus jadi perhatian serius adalah ketahanan pangan dan efektivitas distribusi subsidi,” ujarnya.
Baca Juga: Aturan Pajak Minimum Global Terbit Akhir 2024, Pemerintah Siapkan Insentif Tambahan
Ia juga mengingatkan, jika insentif tidak tepat sasaran, dampaknya terhadap daya beli masyarakat bisa sangat terbatas. Bahkan, intervensi harga yang terlalu agresif dikhawatirkan dapat menciptakan distorsi jangka panjang dalam pasar.
Melihat kompleksitas situasi tersebut, Rizal menilai penting bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Alih-alih sekadar mengejar angka inflasi rendah, prioritas utama adalah memastikan pemulihan konsumsi dan sektor riil berjalan stabil.
Selanjutnya: Persib Bandung Dikabarkan Mau IPO, Begini Kata BEI
Menarik Dibaca: Harga Emas Berbalik Merosot, Trump Tunda Tarif Agresif bagi Uni Eropa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News