kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Masih ragu pungut pajak e-commerce


Selasa, 28 April 2020 / 05:17 WIB
Masih ragu pungut pajak e-commerce
ILUSTRASI. Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Kamis (18/7/2019). Pemerintah tengah mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang dipastikan dengan pengenaan tarif pajak penghasilan dari setia


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Adinda Ade Mustami

KONTAN.CO.ID-JAKARTA Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) terus memutar otak menggali penerimaan pajak di tengah pandemi Covid-19,  Salah satunya, rencana pemajakan atas perusahaan berbasis digital dalam maupun luar negeri. 

Pungutan pajak terhadap industri e-commerce berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan. Beleid ini mengatur pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) dalam perdagangan menggunakan sistem elektronik (PMSE) alias e-commerce.

Baca Juga: Mulai April ini, diskon tarif PPh badan usaha sudah resmi berlaku

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kemkeu John Hutagaol bilang, untuk menindaklanjuti Perpu, pemerintah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) sebagai payung hukum pemungutan PPh dan atau pajak transaksi elektronik (PTE) dalam PMSE.

PP itu sembari menunggu konsensus The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang ekonomi digital. John bilang, pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan digital ekonomi bisa menimbulkan pengenaan pajak berganda. Makanya pemerintah menunggu konsensus global.

Baca Juga: Realisasi pelaporan SPT Tahunan masih rendah, Ditjen Pajak berharap WP bisa mandiri

"Oleh karena itu disepakati solusi jangka panjang, pada akhir 2020 untuk menghasilkan konsensus global memajaki penghasilan dari ekonomi digital berupa penentuan hak pemajakan nexus dan mengalokasikan laba global secara fairness ke yurisdiksi pasar sumber dan yurisdiksi domisili," katanya kepada KONTAN, Minggu (26/4).

Walaupun jadwal akhir konsensus internasional semakin dekat, nampaknya kesepakatan tersebut akan tertunda. Sebab, pandemi Covid-19 mengakibatkan beberapa agenda pertemuan terpaksa dibatalkan dan sebagian lagi ditunda termasuk kemungkinan jadwal the Inclusive Framework (IF) on Base Erosion and Profit Shiftinga (BEPS) pada awal Juli 2020 di Berlin.

"Berdasarkan hal-hal di atas, penerapan PPN atas PMSE luar negeri akan lebih diprioritaskan," tambahnya.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, langkah Indonesia membuat unilateral measure melalui konsep significant economic presence sejatinya sudah ada dalam usulan konsensus global terkait pajak digital.

Jika konsensus tidak tercapai maka konsep BUT akan tetap seperti yang tertuang di kebanyakan tax treaty, yaitu kehadiran secara fisik. "Dalam skenario itu Indonesia bisa menggunakan pajak transaksi elektronik merujuk India dan Inggris," kata Bawono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×