Reporter: Bunga Claudya | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Pembangunan Pembangkit Tenaga Panas Bumi (PLTP) tidak kunjung berkembang signifikan dari tahun 2003 hingga tahun ini. Berbagai polemik klasik masih menjadi hambatan perkembangan energi baru terbarukan.
Masalah perizinan lahan, penolakan dari masyarakat, besarnya biaya untuk pengeboran, hingga permasalahan mekanisme dan lemahnya financing pengembang menjadi polemik klasik yang terulang dari tahun ke tahun. Walhasil, proyek-proyek PLTP pun mangkrak.
Pada semester II-2015 ini pelaku usaha proyek PLTP akan mengikuti pelelangan sejumlah Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi dari Pemerintah. Dari total 67 WKP diantaranya 27 WKP (1.535 MW) masih dalam tahapan pelelangan yang diperkirakan dimulai Agustus dan rampung Desember 2015. Namun ke depannya pelaku usaha akan dihadapkan dengan polemik klasik pembangunan PLTP.
Hingga saat ini baru 9 WKP yang sudah melakukan produksi dari total 67 WKP yang ditetapkan pemerintah. Kesembilan WKP ini ditaksir menghasilkan tambahan energi bagi Indonesia sekitar 1.438,5 MegaWatt (MW). Sementara jumlah tambahan energi dari 67 WKP yakni sekitar 6.238,5 MW. Jumlah tersebut memperlihatkan masih kecil kontribusi dari pembangunan PLTP bagi sektor energi.
Ada 30 WKP (3.210 MW) masih berstatus eksplorasi dan eksploitas serta 1 WKP (55MW) masih berada pada proses penerbitan Izin Penggunaan Bangunan (IPB). Sampai sekarang masih ada 8 WKP tersangkut urusan perizinan atau pembebasan lahan. Antara lain Sungai Penuh, Kotamobago, Darajat, Kamojang, Salak, cisolok-Sukarame, Tangkuban Perahu dan Jaboi.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Satry Nugraha, perizinan lahan menjadi polemik bagi pembangunan PLTP. "Umumnya adalah masalah lahan, perizinan yang masih tumpang tindih," ujarnya. Padahal, saat ini pemerintah sedang merancang elaborasi kebijakan energi dalam rencana umum tentang porsi panas bumi dalam energi bauran di target peningkatan energi 35.000 MW.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan persoalan lahan memang sulit dihindari. Pasalnya sebagian besar lokasi pengeboran untuk PLTP justru berada di kawasan gunung dan hutan. "Ada hutan konservasi, mengurus izinnya tidak gampang. Butuh banyak negosiasi dan pertimbangan," ujar Yunus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News